TEMPO.CO, Bandung - Dari 365 warga Panti Sosial Bina Netra Wiyata Guna, Bandung, yang terdaftar di DPT, 183 orang di antaranya memantapkan diri menjadi golongan putih (golput). Menurut Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 05 Wiyata Guna, Dadan Hamdan Sasmita, alasannya, pendataan dilakukan pada November, sedangkan pada Desember beberapa orang telah lulus.
"Tapi beberapa alumni datang mencoblos," ucap Dadan di Wiyata Guna, Kelurahan Pasir Kaliki, Kecamatan Cicendo, Bandung, Ahad, 24 Februari 2013.
Di Wiyata Guna terdapat dua TPS, yakni TPS 04 dan TPS 05. Pada TPS 05 Wiyata Guna terdapat 375 surat suara yang tersedia, masing-masing 198 surat suara terpakai dan 177 surat suara tidak terpakai. Pencoblosan ini dilakukan dari pukul 7 pagi hingga 1 siang.
Berdasarkan hasil penghitungan yang langsung dilakukan di TPS 05, sebanyak 192 suara sah dan enam suara tidak sah. Masing-masing terdiri dari enam suara untuk pasangan Dikdik-Cecep, enam suara untuk pasangan Irianto-Tatang, 61 suara untuk pasangan Dede-Lex, 47 suara untuk pasangan Aher-Demiz, dan 72 suara untuk pasangan Rieke-Teten.
Sedangkan pada TPS 04, jumlah suara sebanyak 183 yang terdiri dari 175 suara sah dan delapan suara tidak sah. Berdasarkan hasil penghitungan suara, Dikdik-Cecep mendapatkan dua suara, Irianto-Tatang lima suara, Dede-Lex 34 suara, Aher-Demiz 71 suara, dan Rieke-Teten 63 suara.
Pada saat pencoblosan, para pemilih tunanetra ini tidak dibantu langsung oleh KPPS. Dalam masing-masing TPS terdapat braille sebagai alat bantu yang telah disiapkan pihak KPU untuk para pemilih tunanetra. "Kami hanya memberikan penjelasan mengenai cara memilih pada peserta sebelum mereka memasuki TPS," ucap Dadan. Dia menambahkan, sebelumnya KPU telah melakukan dua kali sosialiasasi tentang cara mencoblos di Hotel Lingga dan Wiyata Guna. Sosialisasi tersebut dihadiri 300 orang yang terdiri dari pihak KPU, alumni, dan anggota organisasi massa kecacatan.
Dadan menyatakan isi alat bantu tersebut sama dengan surat suara yang tersedia. "Di dalamnya ada nama dan nomor urut para calon," ucap Dadan.
Salah satu pemilih yang menggunakan alat bantu braille itu adalah Ketua Ikatan Alumni Wiyata Guna, Suhendar. Namun, dia menyayangkan penggunaan braille ini belum merata. "Di lapangan, belum semua pemilih tunanetra menggunakan braille, seperti di Subang, Indramayu, dan Garut," ucap Suhendar.
Menurut dia, seharusnya yang mengurus alat bantu tersebut langsung dari KPU Jabar, bukan pihak KPU kabupaten kota. "Jika tidak mau ada diskriminasi lebih baik dibuat satu pintu biar tidak ada dana yang membengkak di kabupaten kota," kata Suhendar. Hal tersebut juga mengakibatkan tidak meratanya penyebaran penggunaan braille, dia menambahkan.
Di sisi lain, Suhendar menyatakan belum mendapatkan dengan benar sosialisasi penggunaan braille pemilih. "Saat itu template dan surat suaranya belum ada, jadi belum mendapat sosialisasi teknis dengan benar," ucap Suhendar. Dia menambahkan, adanya braille ini bagus, agar para tunanetra tidak ketergantungan pada panitia.
SELLY ASTARI OCTAVIANI