TEMPO.CO, Yogyakarta - Normalisasi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi pascaerupsi 2010 memang sangat penting dilakukan. Sebab, mayoritas sungai penuh dengan material vulkanik. Namun, program itu juga dipersoalkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebab, dana yang dikucurkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke Pemerintah Kabupaten Sleman tidak transparan penggunaannya.
"Jelas-jelas normalisasi sungai itu ada jual-beli pasir dan batu, maka dana yang dikucurkan dan didapat perlu dipertanyakan," kata Suparlan, Direktur Walhi Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad, 10 Februari 2013.
Ia bahkan menuding bahwa normalisasi sungai-sungai seperti Kali opak, Gendol, Boyong, dan Kuning itu hanya kedok. Sebab, setelah ada observasi ke sungai, tidak ada prosedur yang jelas dalam melakukan normalisasi untuk mitigasi bencana. Selain itu, ada jual-beli material yang jelas mendatangkan keuntungan bagi beberapa pihak.
Jual-beli pasir dan batu yang terjadi adalah legalitas, antara pemberi izin dan yang diberi izin. Artinya, program normalisasi itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah jual-beli material atau penambangan pasir dan batu untuk diperjualbelikan.
Selain itu, fakta yang terjadi, penambangan pasir, kerikil dan batu di sungai-sungai itu juga tidak semua material diambil. Tetapi hanya material yang dinilai ada sisi ekonomisnya yaitu pasir, kerikil, dan batu. Namun, material yang tidak bernilai ekonomis ditinggal.
"Peraturannya juga tidak jelas menyebutkan durasi penambangan. Sehingga ada yang menambang sampai malam hari," kata dia. Ia menambahkan, sarana dan prasarana, waktu atau durasi dalam melakukan normalisasi, dan skema normalisasi juga tidak jelas. Sebab, jika itu program normalisasi sungai, harus jelas durasi waktu dan pemetaannnya. Selama ini juga tidak ada kontrol lebar dan dalamnya sungai yang dinormalkan. Yang terjadi, ada sungai yang seharusnya hanya berkedalaman 6 meter dikeruk hingga 10 meter.
"Kami berharap pemerintah betul-betul mengawasi program normalisasi sungai sesuai dengan mitigasi bencana yang akan ditimbulkan," kata Suparlan.
Menurut Heri Suprapto, Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, di wilayahnya sungai yang dinormalkan yaitu Kali Gendol sepanjang 7 kilometer. Ada sebanyak 24 backhoe atau alat berat yang difungsikan sebagai alat pengeruk. Yaitu 15 alat di sungai dan sembilan di perkampungan dan lahan pertanian. "Setiap titik, harga pasir berbeda-beda," kata dia.
Ia menambahkan, untuk transaksi jual-beli pasir, ditangani setiap dusun. Per truk rata-rata Rp 120 ribu hingga Rp 150 ribu. Setiap rit, pihak desa mendapatkan Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu. Selama dua tahun setelah erupsi 2010, Desa Kepuharjo mendapatkan sekitar Rp 600 juta.
Dana itu untuk pembangunan desa, dana abadi, dan dana sosial. Di setiap dusun, warga juga mendapatkan pembagian keuntungan dari penjualan material itu. Soal penambangan pasir itu sudah diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2010 per Desember 2010 yang lalu. Untuk pasir bahan bangunan dikutip Rp 25 ribu per meter kubik, sedanglan pasir campur kerikil Rp 20 ribu per meter kubik.
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Mineral Kabupaten Sleman, Widi Sutikno, sulit dihubungi. Namun, beberapa waktu lalu ia pernah menyatakan Pemerintah Kabupaten Sleman selama 2 tahun selepas erupsi menerima pemasukan hasil galian C sebesar Rp 12 miliar.
MUH SYAIFULLAH