TEMPO.CO, Yogyakarta- Jumlah penderita virus Human Immunodeficiency Virus Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat sehingga muncul ide kriminalisasi pelanggan seks. Sejumlah lembaga yang membahas ide itu hingga kini belum menghasilkan kesepakatan tentang bentuk kriminalisasi pelanggan seks.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, Inang Winarso, mengatakan ide kriminalisasi pelanggan seks muncul karena aturan yang dibuat oleh pejabat di daerah selama ini bias gender. Para gubernur, bupati dan walikora membuat aturan pembubaran prostitusi dan pemberian sanksi yang berat kepada pekerja seks.
Sedangkan, pelanggan seks muncul pelanggan seks atau pembeli seks laki-laki selalu diuntungkan karena perilakunya dianggap wajar. Aturan tentang larangan prostitusi selama ini lebih banyak merugikan perempuan atau pekerja seks. "Dominasi maskulinitas dan budaya patriakhi membuat tindakan pelanggan yang sarat kekerasan seksual di kawasan prostitusi kerap dianggap wajar," kata dia seusai Simposium Nasional bertajuk "Mengelola Perbedaan Menyelaraskan Gerakan Dalam Isu Prostitusi” di Kelurahan Sosromenduran, Yogyakarta, 30 Januari 2013.
Simposium yang berlangsung hingga 31 Januari itu membahas sejumlah perbedaan pandangan tentang kriminalisasi pelanggan seks. Selain PKBI, peneliti Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya Jakarta, Ignatius Praptoraharjo dan Koordinator Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta (P3SY), Sarmi.
Inang Winarso mengatakan aturan tentang prostitusi sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini mengkriminalkan para pekerja seks. Mereka dianggap sebagai penyebar penyakit menular, pengganggu ketertiban umum, manusia yang tidak beradab, dan tidak memiliki moral.
Menurutnya, prostitusi selalu dimulai dengan permintaan dari para pelanggan seks atau laki-laki dan pemasok atau mucikari. Para pekerja seks selama ini menjadi korban yang diperjualbelikan karena mereka kerap dikenai sanksi. Sementara, para pelanggan dan mucikari dianggap bukan sebagai pelanggar hukum. "Laki-laki sebagai pembeli seperti bab yang hilang dari catatan sejarah karena ada ketimpangan relasi sosial," katanya.
Ia menambahkan sanksi pidana bagi pihak yang melakukan prostitusi sebetulnya telah ada dalam KUHP Pasal 289 Bab 10. Namun, selama ini muncul persepsi yang berbeda dalam menjalankan aturan itu karena masih bias gender. Pekerja seks selama ini seringkali disudutkan.
Peneliti Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya Jakarta, Ignatius Praptoraharjo, mengatakan kriminalisasi pelanggan akan meningkatkan pelanggaran hak asasi manusia bagi para pekerja seks. Kriminalisasi pelanggan seks tidak akan menghilangkan prostitusi dan kekerasan karena pekerja seks akan mencari tempat-tempat yang sepi atau bekerja di bawah pihak ketiga. Risiko penyakit yang ditimbulkan akan semakin tinggi.
Menurutnya, melarang membeli seks akan memperburuk tekanan terhadap para pekerja seks. Larangan itu berdampak pada upaya keras para pekerja seks memperoleh pelanggan karena lokasi transaksi seks menjadi berkurang. Para pekerja seks akan menurunkan tarif, bekerja lebih lama, dan menerima pelanggan yang melakukan kekerasan karena mereka semakin terhimpit.
SHINTA MAHARANI