TEMPO.CO, Jakarta - Akhir Mei 2010, hati Milang Tauhida berbunga-bunga. Anak keduanya diterima di sekolah favorit: Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cikini, Jakarta Pusat. Setahun sebelumnya, Milang juga berhasil memasukkan anak pertamanya ke sekolah ini.
Tapi kegembiraan Milang tak berumur panjang. Dua bulan setelah anak keduanya bersekolah, ia menerima undangan rapat orang tua murid. Saat itulah dia baru tahu anak keduanya masuk “kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)”.
"Anak pertama saya masuk kelas reguler,” kata Milang dalam artikel "'Bubar Jalan' dalam Rintisan" di majalah Tempo edisi 14-20 Januari 2013.
Kata Milang, awalnya ia mengira sang anak masuk RSBI karena nilai ujian akhirnya masuk lima besar. Nyatanya, ia malah diminta bayar uang pangkal sekitar Rp 8 juta dan iuran bulanan Rp 600 ribu. Semua itu merupakan biaya “kelas RSBI”. “Padahal, setahu saya, pemerintah DKI Jakarta menggratiskan pendidikan hingga tingkat SMP,” ujarnya.
Bukan hanya Milang yang dikagetkan dengan biaya sebesar itu. Sebanyak 30 orang tua murid mengalami hal yang sama. Mereka menolak membayar uang pangkal dan bulanan sebelum sekolah membuka semua laporan penggunaan anggaran tahun sebelumnya.
Mendapat penolakan, sekolah memberi balasan. Pada saat kenaikan kelas, Juni 2011, sekolah menahan buku rapor anak Milang dan 30 siswa lainnya. Buku rapor baru dibagikan setelah Milang melapor ke Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Ombudsman Republik Indonesia.
"Saya juga mengadu ke Indonesia Corruption Watch," kata Milang. "Di sana malah bertemu sejumlah orang tua murid lain juga bermasalah dengan sekolah RSBI."
JAJANG JAMALUDIN | SUNDARI | FRANSISCO ROSARIAN | CORNILA DESYANA