TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi optimistis bisa menjerat pegawai negeri maupun penyelenggara negara yang diduga menerima gratifikasi seks. Lembaga antikorupsi ini menyatakan tidak perlu ada aturan baru sebagai payung hukum untuk mengusut modus korupsi tersebut.
”Pasal 12 b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mencakup gratifikasi dalam bentuk seks,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., saat dihubungi, Senin, 14 Januari 2013.
Johan menjelaskan, dalam Pasal 12 b, gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sebelumnya, komisi antirasuah ini menjelaskan, pemberian gratifikasi seks masuk kategori pemberian “fasilitas lain”.
Isu gratifikasi seks mencuat setelah KPK menduga korupsi jenis ini cukup marak di Indonesia. Namun, tak seperti jenis gratifikasi berupa barang maupun duit, gratifikasi jenis ini tidak pernah dilaporkan ke KPK.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan, sogokan seks adalah cara jitu mengiming-imingi pejabat antisuap. Modus ini marak terjadi sehingga dibutuhkan aturan khusus untuk menjadi landasannya. Aturan baru, kata Mahfud, harus dibuat karena penghitungan gratifikasi seks cukup rumit. Tak semua hubungan seks ditakar dengan uang.
Meski demikian, Johan berkukuh bahwa lembaganya bisa menjerat penerima seks. KPK, kata dia, belum berpikir mengusulkan aturan baru tentang hal itu. “Selain itu, masih banyak hal lain yang perlu menjadi prioritas,” ujar Johan.
TRI SUHARMAN