TEMPO.CO , Jakarta:Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) mendesak DPR memperhatikan sejumlah hal dalam pembahasan RUU KUHAP di Senayan. Mereka meminta DPR tidak terburu-buru menyelesaikan rancangan peraturan yang sudah sangat ditunggu-tunggu ini.
"Jangan sampai kualitas KUHAP ini, justru lebih buruk dibandingkan KUHAP 1981," kata Muhamad Isnur, salahsatu anggota Komite yang juga Kepala Bidang Riset dan Pengembangan Pengacara Publik di LBH Jakarta, Kamis, 3 Januari 2013.
Menurutnya KUHAP yang telah berusia lebih 30 tahun memang memiliki banyak kekurangan serta sudah tak relevan dengan perkembangan saat ini. Menurutnya, banyak kelonggaran pada KUHAP justru menjadikan pembenaran praktek-praktek pelanggaran seperti penyiksaan tahanan.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dikirimkan pemerintah ke DPR pada 11 Desember 2012 untuk pembahasan. "Sekarang bola panas ada di DPR, dan DPR harus membuka kesempatan semua pihak untuk terlibat, termasuk korban penyiksaan," kata anggota komite lain, Wahyudi Djafar, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Mereka berpendapat KUHAP adalah elemen dasar peradilan yang sangat krusial. Untuk itu, Komite memberikan beberapa pesan untuk diperhatikan anggota DPR. "Intinya kedepankan Hak Asasi Manusia dan sebisa mungkin hilangkan upaya paksa dengan penyiksaan," kata Wahyudi.
Selain itu, Komite meminta KUHAP baru menjadi landasan sistem peradilan terpadu. Dengan demikian, para pelaku hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim bisa sinergi dan saling mengasistensi pada penanganan setiap perkara.
"Kalau sekarang kan jaksa tak tahu apa yang dikerjakan polisi, begitu juga hakim tak tahu apa yang dikerjakan jaksa. Makanya sering terjadi penghilangan dan perubahan pasal," kata Wahyudi.
FIRMAN HIDAYAT