TEMPO.CO, Jakarta - Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia telah dicanangkan sejak 1981. Namun, hingga 2012 ini, kasus kekerasan pada wanita terus terjadi. Dalam periode 2011 saja, perkara kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai angka 119.107.
"Jumlah ini meningkat dari 2010, sekitar 105.103 kasus," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, di Koran Tempo, Ahad, 24 November 2012.
Dari jumlah kasus itu, Masruchah melanjutkan, 96 persennya merupakan kekerasan domestik. Artinya, si pelaku adalah orang terdekat korban. Entah itu suami, pacar, keluarga, atau saudaranya.
Bentuk kekerasan itu sendiri tak melulu berupa penyiksaan fisik. Tapi bisa juga tindakan yang menyakiti secara psikologis dan seksual. "Pelakunya bisa individu atau komunitas, seperti kelompok, organisasi, maupun lembaga negara," kata Masruchah.
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan biasanya disebabkan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Seperti perbedaan peran serta hak antara perempuan dan laki-laki di masyarakat. Dengan demikian menempatkan perempuan dalam status lebih rendah daripada pria.
Hak istimewa pria inilah yang menjadikan perempuan seperti barang milik pria yang bisa diperlakukan semaunya. Termasuk dengan tindak kekerasan.
Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, negaralah yang seharusnya memberi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Pelanggaran negara dalam soal penegakan hak asasi manusia lebih sering dialami perempuan. “Karena tubuh perempuan dikriminalkan,” katanya.
Masruchah mencontohkan peraturan daerah yang tidak bersahabat dengan perempuan. Yakni Peraturan Pemerintah Kota Tangerang yang menyatakan perempuan pulang malam disamakan dengan pelacur. "Dan peraturan ini sudah memakan korban,” ujarnya.
KORAN TEMPO | CORNILA DESYANA
Berita lain:
Narapidana Korupsi Tewas di Lapas Kupang
Hari Anti-Kekerasan Perempuan Berawal di Dominika
Century dan Gerilya Golkar
Boediono Cerita Sejarah Wayang