TEMPO.CO, Kediri - Puluhan bekas penambang pasir Sungai Brantas, di Kediri, Jawa Timur menuntut pekerjaan layak kepada pemerintah. Menurut Misno, salah satu bekas penambang, seusai penutupan aktivitas penambangan beberapa waktu lalu, kehidupan warga telantar.
Sedikitnya 29 bekas penambang pasir di Kelurahan Semampir, Kecamatan Kota Kediri menuding pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebijakan penutupan penambangan pasir di Sungai Brantas. Hingga kini tidak ada solusi pekerjaan bagi mereka untuk menghidupi keluarga. "Kami dibiarkan mencari hidup sendiri," kata Misno, Ahad, 21 Oktober 2012.
Misno menuturkan, satu-satunya sumber pendapatan para penambang saat ini adalah memelihara ikan dalam keramba yang menjadi program bina sosial (CSR) PT Gudang Garam (Tbk). Setiap keluarga penambang mendapat pinjaman modal satu unit keramba berisi 800-1.000 benih ikan lele, nila, atau bawal. Modal itu wajib dikembalikan setelah tiga kali panen.
Ternyata hingga dua kali panen, kata Misno, hasil keuntungannya sangat jauh dari yang diharapkan. Dalam sekali panen setiap dua bulan sekali, masing-masing keluarga hanya memperoleh Rp 100-200 ribu.
Cueknya pemerintah terhadap warga di bantaran Sungai Brantas, menurut Misno, ditunjukkan dengan tidak adanya pembinaan dari Dinas Perikanan setempat. Mereka dibiarkan bergelut dengan profesi baru sebagai peternak ikan hingga menderita kerugian yang besar. "Pemerintah mengira kami bisa makan dari program ini," katanya.
Warga menuntut tanggung jawab Walikota Kediri, Samsul Ashar, untuk memberikan lapangan kerja pengganti yang lebih layak. Apalagi program pemeliharaan ikan dari PT Gudang Garam itu akan berakhir akhir tahun ini.
Kepala Kecamatan Kota Kediri, Fery Jatmiko, mengatakan program pemeliharaan ikan keramba ini memang hanya program pancingan bagi warga di bantaran sungai. Diharapkan mereka bisa menjadi peternak andal setelah program itu berakhir. "Saat ini saja sudah kelihatan hasilnya," katanya.
Fery membantah jika program itu tak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Menurut laporan staf kelurahan yang dia terima, pada setiap panen masing-masing keluarga menerima Rp 1,2 juta.
Namun, Misno membantah pernyataan itu. Ia menuding bahwa pemerintah asal bicara tanpa melihat realitas di lapangan. Dia tetap menuntut pemerintah bertanggung jawab atas nasib mereka dan tidak melemparkan tanggung jawab ke PT Gudang Garam.
HARI TRI WASONO