TEMPO.CO, Semarang - Organisasi profesi jurnalis mendorong agar tentara pelaku kekerasan terhadap sejumlah jurnalis saat meliput musibah jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 milik TNI AU di Pasir Putih, Pandau, Pekanbaru, Riau, pada hari Selasa, 16 Oktober 2012 kemarin diadili. Kekerasan yang menimpa wartawan TV One, fotografer harian Riau Pos dan LKBN Antara ini melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Dalam undang-undang tersebut mengatur seorang jurnalis memiiki kewajiban untuk memberitakan peristiwa,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang, Renjani Puspo Sari, Selasa, 16 Oktober 2012.
Renjani mengatakan, dia mendorong adanya pengadilan terhadap anggota TNI AU yang menjadi pelaku kekerasan. Menurut Renjani, tindakan yang dilakukan aparat TNI ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers. Ia menjelaskan pada Pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan dalam penyiaran dan pemberitaan bisa dikenai pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Ia juga mengecam adanya kekerasan terhadap jurnalis sebab hal seperti ini terus berulang. “Ini membuktikan mereka tidak paham atas tugas penting yang diemban oleh jurnalis,” ujar Renjani.
Ia menilai sikap aparat TNI AU tersebut merupakan salah satu bentuk sekuritisasi yang kebablasan. Apalagi keberadaan barang milik TNU AU juga bukan informasi yang rahasia dan publik berhak untuk tahu. Ia mendesak penglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara untuk menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
EDI FAISOL