TEMPO.CO, Jember - Tim penyidik Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, menetapkan SS sebagai tersangka kasus penyerangan Pesantren Terbuka Ma'had Al Robbaniy di Dusun Krajan, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sumbersari.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jember, Ajun Komisaris Polisi Makung Ismoyojati, mengatakan SS adalah sekretaris pengurus anak cabang Partai Persatuan Pembangunan Kecamatan Sumbersari. "Dia salah satu pelaku penyerangan dan perusakan,” katanya, Selasa, 16 oktober 2012.
Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, pelaku penyerangan pada 20 April lalu lebih dari satu orang. Adapun pelaku lainnya serta dalang di balik aksi kekerasan itu masih dalam pengembangan penyidikan. "Ini kasus sensitif. Kami tidak mau terburu-buru," ujar Ismoyojati.
Aksi penyerangan oleh ratusan warga Dusun Krajan disulut isu bahwa pesantren yang berdiri pada 2007 tersebut memberikan ajaran sesat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam kepada santrinya, di antaranya mengharamkan tahlil dan ziarah kubur. Bahkan, berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Nabi Muhammad tidak perlu dimuliakan karena hanya manusia biasa.
Sebelum terjadi penyerangan, perwakilan pesantren dan warga telah dipertemukan di kantor Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas) Jember. Dalam pertemuan yang dimediasi Kementerian Agama dan kepolisian, kedua pihak sepakat pesantren akan menghentikan kegiatannya selama dua minggu sambil menunggu kajian dari Kementrian Agama Jember.
Namun, rupanya warga tidak puas dengan kesepakatan tersebut. Sekitar satu jam setelah pertemuan, ratusan warga menyerbu pesantren hingga bangunan mengalami rusak parah.
Pengajar dan pengurus pesantren, Heri Yudi Siswoyo, membantah tuduhan warga. Sebab, mereka merasa pesantren mengajarkan dan menjalankan ajaran Islam yang benar. "Kami menjalankan syariat Islam sesau ajaran Al-Quran dan hadis. Jadi tidak seperti yang dituduhkan warga," ucapnya.
Berdasarkan kajian sementara yang dilakukan Majelis Ulama Islam (MUI) Jember, materi yang diberikan pesantren tersebut sudah sesuai ajaran Islam. Namun, penyampaiannya terkadang menyinggung kebiasaaan yang dilakukan warga.
"Soal khilafiyah, seperti tahlil dan ziarah kubur, kalau disampaikan di internal jemaah mereka tidak masalah. Namun, hal itu disampaikan secara terbuka sehingga menimbulkan keresahan masyarakat," ujar Ketua MUI Jember, Abdul Halim Subadar.
Selain itu, pesantren tesebut belum belum memenuhi minimal lima persyaratan agar bisa dikategorikan sebagai pondok pesantren, di antaranya memiliki kiai atau ulama serta santri yang menetap di lingkungan pondok. "Yang datang ke sana untuk melakukan kajian Islam hampir semuanya dari luar dan tidak menetap. Juga tidak ada asrama untuk santri seperti umumnya pesantren," kata Halim.
MAHBUB DJUNAIDY
Terpopuler:
DPR: Dipo Alam Offside
Polisi Belum Serahkan Berkas Simulator SIM ke KPK
Ingat Anak Istri, Teroris Menyerahkan Diri
Survei: PDIP Sekarang Partai Terpopuler
Federasi Guru Protes Penambahan Jam Belajar Siswa