TEMPO.CO, Yogyakarta - Sehari menjelang pelantikan Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Kadipaten Pakualaman Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, konflik di lingkungan Pakualaman memanas lagi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melantik mereka di Istana Negara Gedung Agung, ujung Jalan Maliboro, Rabu besok, 10 Oktober 2012.
Kubu pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Ambar Kusumo hampir bentrok dengan kubu pendukung Kanjeng Pangeran Hario Angling Kusumo di kompleks Pakualaman, Selasa, 9 Oktober 2012. Kakak beradik ini memang tidak akur. Angling Kusumo merupakan saudara tiri Paku Alam IX bertakhta Ambar Kusumo. Mereka berebut takhta Pakualaman sejak tak lama setelah Paku Alam VIII mangkat pada tahun 1998 lalu.
Pakualaman merupakan kadipaten, semacam kerajaan kecil otonom di dalam wilayah Keraton Kasultanan Ngayogyakarto yang dipimpin Sultan. Sedangkan Keraton Puro Pakualam dikuasai Paku Alam. Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta menyatakan, Sultan bertakhta otomatis menjadi gubernur, sementara Paku Alam bertakhta menjadi wakil gubernur.
Bentrok bermula ketika puluhan massa pendukung Angling Kusumo, yang mengawal perwakilan Angling Kusumo, menggelar pertemuan pers di dalam Puro Pakulaman. Mereka akan membuat pernyataan tentang gugatan yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara tentang pelantikan Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur DIY. Namun, baru sampai gerbang Puro Pakualaman, pintu gerbang tinggi kadipaten ditutup paksa oleh massa pendukung Ambar Kusumo, yang tergabung dalam organisasi masyarakat Paksi Katon.
Akibatnya, perwakilan Angling Kusumo yang dipimpin adik kandungnya, KGPH Widjojokusumo, protes dan meminta gerbang dibuka. Aksi yang dijaga puluhan aparat kepolisian dan satuan Polisi Pamong Praja itu berlanjut saling maki, namun tak sampai berujung fisik. “Ini rumah saya! Dari kecil saya hidup di sini. Anda siapa? Tidak berhak menutup pintu ini karena saya punya kepentingan di sini,” kata Widjojokusumo. Ia merupakan putra bungsu dari ibunda Kanjeng Raden Ayu Ratna Ningrum, istri kedua Paku Alam VIII.
Namun seruan Widjojokusumo itu tidak digubris oleh para anggota Paksi Katon, yang dipimpin Muhammad Suhud. “Kalau yang masuk Anda sendirian tak masalah. Tapi kami tak rela Pakualaman diinjak-injak orang-orang bayaran yang Anda bawa, itu akan mengacau,” kata Suhud kepada Widjojokusumo.
Suhud menuding Angling Kusumo dan orang sewaannya merupakan kelompok yang sengaja ingin mengganggu pelantikan kepala daerah DIY setelah Undang-Undang Keistimewaan DIY disahkan. “Selama ini raja Kadipaten Pakualaman cuma satu, yakni Paku Alam bertakhta, bukan Ambar Kusumo. Jadi sebaiknya Anda pulang,” kata Suhud.
Massa pendukung Angling Kusumo pun nekat bertahan. Widjokusumo mengatakan, gugatan pelantikan Paku Alam IX Ambar Kusumo sebagai wakil gubernur didasarkan pada keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Surat Keputusan DPRD DIY Nomor 44/K/DPRD/2012. Kubu Angling menilai keputusan itu cacat hukum, juga cacat budaya.
Menurut dia, DPRD DIY telah berpihak karena secara sepihak tidak memproses berkas pendaftaran calon wakil gubernur yang diajukan Angling Kusumo pada 11 September 2012 lalu. “DPRD hanya memproses berkas yang diajukan oleh Ambar Kusumo dengan alasan selama ini pemerintah mengakui Ambar Kusumo dan secara budaya sebagai putra tertua,” kata dia.
Seharusnya, kata Widjojo, untuk menjadi pewaris takhta Paku Alaman yang selanjutnya bisa dilantik menjadi Wakil Gubernur DIY, seorang tidak sekadar dilihat dari kacamata biologis umurnya.
Paku Alam IX yang bertakhta saat ini merupakan anak pertama dari istri pertama Paku Alam VIII, Kanjeng Raden Ayu Purnama Ningrum. Tapi, kata Widjojo, Ambar Kusumo tidak bisa dianggap sebagai putra tertua. ”Sebab, di masa lalu, ibu kami (Ratna Ningrum), didaulat secara budaya menjadi istri tertua. Jadi Angling Kusumo yang berhak bertakhta,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO