TEMPO.CO, Bojonegoro - Lima Kepala Desa di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, hingga kini mringkuk di tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bojonegoro.Adayang sudah divonis pengadilan, serta ada yang menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Bojonegoro.
Kepala Desa Trenggulunan, Kecamatan Ngasem, Rohmat, dijebloskan ke Lapas Bojonegoro oleh Kejakasaan Negeri Bojonegoro, Kamis 27 September 2012.
Kesalahan mereka sama, yakni melakukan pungutan liar Program Nasional Agraria (Prona). ”Jumlah kepala desa yang akan ditahan bisa jadi bertambah karena penyidik kejaksaan masih memeriksa dua orang lagi dalam kasus serupa,” kata Kepala Kejakasaan Negeri Bojonegoro, Tugas Utoto kepada Tempo, Kamis, 27 September 2012.
Saat digelandang masuk ke mobil tahanan menuju ke Lapas Bojonegoro, Rohmat tidak banyak menjawab pertanyaan wartawan yang mengerubutinya. Rohmat menagatakan tidak terlibat kasus tersebut. “Saya bukan maling,” ujarnya.
Empat kepala desa lainnya sudah terlebih dahulu mengenyam pengabnya ruang tahanan. Kepala Desa Pancur, Kecamatan Temayang, Priyo Santo, ditahan Rabu, 19 September 2012. Priyo yang sudah ditetapkan sebagai tersangka diduga melakukan pungli senilai Rp 94 lebih dari 125 pemohon sertifikat dengan rata-rata pungutan Rp 650 ribu hingga Rp 1 juta per satu bidang tanah. Priyo juga diduga menerima upah dari progam itu.
Kepala Desa Jatigede, Kecamatan Sumberejo, Kastari, dan Kepala Desa Nglampin, Kecamatan Ngambon, Ruspan, yang sudah ditahan beberapa bulan. Bahkan keduanya ditanyakan bersalah dan divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)Surabaya pertengahan Juli lalu.
Satu orang lagi adalah Kepala Desa Malingmati, Kecamatan Tambakrejo, Kariyadi, yang ditahan sejak April 2012 lalu. Penyidik kejaksaan menyebutkan tersangka diduga melakukan penyelewengan dana prona Rp 60 juta. Tiap pemohon diminta menyetorkan uang sekitar Rp 1 juta dan terkumpul sekitar Rp 60 juta. Kasusnya kini dalam proses penyidikan dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya.
Tugas Utoto menjelaskan bahwa lima kepala desa tersebut menggunakan modus yang sama, yaitu meminta uang dengan jumlah di luar kepatutan antara Rp 700 ribu hingga sampai Rp 1,2 juta per satu bidang tanah. “Itu jelas melanggar aturan,” ucapnya.
Program Prona yang dilakukan tahun 2010, menurut Tugas Utoto, meliputi tujuh desa. Itu sebabnya penyidik kejaksaan hingga kini masih memeriksa dua orang kepala desa.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Bojonegoro, Galih Widiasta, mengatakan bahwa biaya pelaksanaan Prona sudah disubsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Pada pelaksanaan 2010 nilai subsidinya Rp 300 ribu per satu bidang tanah (satu sertifikat). “Jumlah itu cukup besar sehingga tidak perlu lagi dilakukan pungutan kepada para pemohon,” tuturnya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 27 September 2012.
Galih tidak menampik ada sejumlah biaya lainnya, namun jumlahnya tidak banyak. Di antaranya materei senilai Rp 6000, atau biaya untuk pembelian patok tanah yang juga relatif murah.
SUJATMIKO
Berita lain:
Hadiah US$ 60 Juta bagi Pria yang Mau Nikahi Lesbi
Kapolri Perintahkan Djoko Susilo Datang ke KPK
Alumni SMA 6 Usulkan Sanksi bagi Kepala Sekolah
AD Tersangka Tawuran Pelajar di Manggarai
Remaja Pembacok Alawy Tertangkap di Yogyakarta