TEMPO.CO, Jakarta -- Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan dirinya tak sepakat dengan pandangan Nahdlatul Ulama tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. "Dulu, seingat saya, kenapa pilkada langsung jadi pilihan karena politik uang yang luar biasa di DPRD," kata Anas di sela "Pengukuhan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia", Selasa, 18 September 2012.
Musyawarah alim ulama NU kemarin meminta pemerintah menghapus sistem pemilihan langsung gubernur, bupati, dan wali kota. Organisasi massa Islam terbesar di Indonedia ini menilai, pemilihan langsung kepala daerah yang berjalan selama ini dinilai tak efektif dan hanya menghamburkan uang negara.
"Hanya mendidik rakyat menjadi pengemis pada kandidat, rakyat dididik menjual hati nuraninya demi fasilitas," kata Khatib Aam Syuriah Pengurus Besar NU, Malik Madani, di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Ahad lalu. "Karena itu, kami merekomendasikan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD."
Anas menilai sikap NU tentang pilkada langsung itu justru mundur dari semangat demokratisasi. Meski demikian, ia menganggap permintaan tersebut dapat dijadikan masukan untuk kajian yang lebih mendalam. "Dikaji secara jernih dan obyektif, politik uang itu lebih banyak di pemilihan langsung atau lewat DPRD," ujar dia. "Biar pilihan kebijakan tidak emosional."
Anas menilai, pembahasan mendalam itu perlu dilakukan supaya sistem pilkada tidak kerap berubah setiap kali dinilai mengecewakan. "Dulu juga begitu, pemilihan melalui DPRD banyak sekali kritiknya," katanya.
Sikap senada dilontarkan Siti Zuhro, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI. Menurut Siti, pengembalian sistem pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung lewat DPRD tidak menjamin pelaksanaan demokrasi terbebas dari praktek politik uang. "Siapa yang menjamin demokrasi melalui DPRD tidak ada money politics? Justru semakin memperkuat demokrasi yang elitis, transaksional, dan tertutup," ujar peneliti senior yang hari ini dikukuhkan menjadi profesor riset bidang ilmu politik LIPI.
Siti mengatakan, pilkada langsung tidak bisa dipisahkan dari otonomi daerah. Pilkada langsung dipilih karena pemberlakuan otonomi daerah. Otonomi diperlukan lantaran pemerintah daerah dituntut kreatif dan mampu berinovasi serta mempraktekkan pembangunan yang memajukan daerah. "Demokrasi partisipatoris melalui pilkada atau pemilu langsung presiden itu menjadi sesuatu yang mewah bagi masyarakat," ujar dia.
MAHARDIKA SATRIA HADI
Berita lain:
Pilkada DKI: Agama Yes, Prabowo No
50 Foto Topless Kate Middleton Ada di Majalah Chi
Selingkuhan Rooney dan Balotelli Hamil
Survei: Foke Versus Jokowi, Kalah Tipis
Di Hotel Ini, Pengguna Toilet Diintip Pejalan Kaki
Polisi Anggap 20 Penyidik di KPK Ilegal