TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Desa bisa dijadikan sarana DPR untuk bagi-bagi uang sebagai barter politik dengan pendukungnya di daerah. “Ini perlu diwaspadai dan diawasi, jangan sampai blunder,” kata pengamat politik dari dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada Tempo, Sabtu, 25 Agustus 2012.
Siti mengatakan perilaku pemerintah pusat, baik eksekutif maupun legislatif, yang sering melakukan tindak korupsi memperkaya diri, bisa menjadi contoh negatif bagi pemerintahan daerah. Pejabat daerah, bahkan setingkat desa, bisa menginginkan hal serupa. Mereka akan mungkin menuntut tambahan anggaran dengan alasan proyek, padahal untuk memperkaya diri.
Baca Juga:
Pansus RUU Desa DPR RI yang menangani RUU Desa sepakat menyetujui akses dana desa dari anggaran pusat, meskipun belum mematok besaran persentasenya. “Nah, jangan sampai ini jadi kasus DDPID (dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah) kedua,” kata Siti. Kasus DDPID yang menjerat anggota Komisi VII DPR RI, Wa Ode Nurhayati, diduga karena Wa Ode telah menerima hadiah terkait pengalokasian anggaran proyek PPID senilai Rp 40 miliar untuk tiga kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam. Ketiga kabupaten itu adalah Aceh Besar, Pidi Jaya, dan Bener Meriah.
Siti mengatakan pemerintah harus membenahi dan melakukan upaya pemberantasan korupsi di pusat semaksimal mungkin untuk mencegah agar RUU ini, setelah disahkan kelak, tidak menjadi celah untuk korupsi. “Kalau nasional compang-camping, jangan harap desa akan bagus,” kata peneliti senior ini. Kasus korupsi menjadi efek turunan ke bawah jika pusat tidak diantisipasi.
Meskipun RUU Desa bisa menjadi celah untuk bagi-bagi uang, kata Siti, bukan berarti ini tidak boleh disahkan. RUU yang sedang digodok ini tetap diperlukan untuk memberi perlindungan dan payung hukum bagi desa. “Sangat membantu desa yang ingin kreatif, tapi terhalang pemerintahan kota atau kabupaten,” ujar Siti Zuhro.
SUNDARI