TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch menilai pembekuan pengadilan negeri tindak pidana korupsi untuk meminimalkan permasalahan suap perkara kurang efektif. Pasalnya, pembekuan justru menghambat perkara-perkara yang masih berjalan di pengadilan tipikor tersebut.
"Pembekuan pengadilan tipikor kurang efektif karena terhambat perkara yang masih berlangsung," kata anggota badan pekerja ICW, Emerson Yuntho.
ICW justru hanya menawarkan evaluasi di seluruh pengadilan tipikor di Indonesia. Evaluasi tersebut, kata Emerson, tidak sekadar pengadilan tipikor sebagai institusi, melainkan pada hakim-hakim ad hoc dan karier yang bekerja di dalamnya.
"Selain evaluasi institusi, perlu rekam jejak ulang bagi seluruh hakim ad hoc dan karier di pengadilan tipikor tersebut," kata Emerson.
Sebelumnya, Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzukie menyarankan Mahkamah Agung untuk membekukan pengadilan tipikor di Indonesia. Setelah dibekukan, Mahkamah Agung dapat melakukan desentralisasi di lima provinsi saja.
Kinerja pengadilan tipikor saat ini sedang menjadi sorotan setelah tertangkapnya dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang dan Pontianak, Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono. Mereka ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Agustus lalu di halaman Pengadilan Negeri Tipikor Semarang.
Ketika ditangkap, keduanya sedang menerima suap dari Sri Dartuti, adik dari M. Yaeni, terdakwa penyalahgunaan dana pemeliharaan kendaraan dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan. Bersama mereka, disita juga barang bukti uang suap sebesar Rp 150 juta.
Selain dua hakim ad hoc tersebut, Mahkamah Agung mengatakan akan ada empat hakim ad hoc pengadilan tipikor yang dibidik. Satu di antaranya dari pengadilan tipikor di Surabaya, laporannya sudah ada di Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, dan akan dikenai sanksi.
AYU PRIMA SANDI