TEMPO.CO, Yogyakarta - Tekad Budi (bukan nama sebenarnya) untuk mengenyam pendidikan masih sulit terkabul. Bocah 5 tahun penderita Human Immudodeficiency Virus (HIV) asal Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, itu harus menerima kenyataan pahit, dua kali mendaftar taman kanak-kanak, dua kali pula dia ditolak orang tua murid.
“Hari ini, 80 persen wali murid kembali menolaknya,” kata Suratmi, Kepala TK Aisyiah Bustanul Athfal, Desa Ngoro-Ngoro, Kecamatan Patuk, saat dihubungi, Jumat, 10 Agustus 2012.
Di sekolah ini, sebenarnya Budi telah terdaftar sebagai siswa sejak Juni lalu. Namun, hingga Juli lalu ia tak bisa masuk sekolah lantaran ditolak oleh orang tua murid. Mereka khawatir virus perontok kekebalan tubuh yang bersarang di tubuh Budi menular ke siswa lain. “Kami tidak pernah menolaknya bersekolah,” kata Suratmi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan Budi bersekolah. Dari tawaran home schooling hingga sosialisasi HIV/AIDS kepada masyarakat. Akhirnya, Kamis, 9 Agustus 2012, Ibu Budi, sebut saja Yayuk, kembali mendaftarkan anaknya ke sekolah ini. “(Kamis kemarin) hanya daftar, Jumat baru masuk sekolah,” katanya.
Yayuk mengatakan keputusan mendaftarkan kembali anaknya di TK ABA Ngoro-Oro karena ia mendapat kabar jaminan dari pemerintah Gunungkidul. “(Pemerintah) kasih tahu, katanya semua sekolah bisa menerima,” katanya.
Yayuk mengatakan akan mengadukan penolakan yang kedua kalinya ini ke pemerintah Gunungkidul. Ia berharap anaknya tetap bisa bersekolah di mana pun tanpa ada diskriminasi.
Sebelumnya, Wakil Bupati Gunungkidul Immawan Wahyudi mengatakan tak bisa mencampuri urusan warga yang menolak Budi bersekolah. Mekanisme penerimaan siswa pun sudah diatur oleh Dinas Pendidikan, meski masih ada kemungkinan memusyawarahkan ulang aturan itu. “Asal tidak terkait dengan prosedur penerimaan siswa, kami akan bantu,” katanya.
ANANG ZAKARIA