TEMPO.CO, Jakarta - Penanganan kasus korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Markas Besar Polri terancam lambat.
Alasannya, berdasarkan hasil kesepakatan bersama antarlembaga penegak hukum, penyidikan akan dilakukan oleh dua lembaga sekaligus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Markas Besar Kepolisian RI.
Peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, tidak sepakat dengan kesepakatan ini.
Menurut dia kasus dugaan korupsi simulator SIM ini harus ditangani oleh komisi antirasuah. “Akan lebih terhormat jika Polri legowo dan menerima proses hukum KPK sebagai "bantuan" agar Polri melakukan pembenahan ke dalam,” kata Febri saat dihubungi, Kamis, 2 Agustus 2012.
Polri, kata Febri, harus menyadari bahwa lembaganya adalah milik rakyat dan bukan milik para jenderal.
Baca Juga:
Febri mengatakan saat ini publik tengah menyoroti dan mempertanyakan proses penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mabes. Meski mengklaim lebih dulu menyelidiki kasus ini, kenyataannya proses yang dilakukan KPK berjalan lebih cepat.
KPK telah menetapkan empat tersangka termasuk dua jenderal yaitu bekas Kepala Korlantas, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, dan pejabat pembuat komitmen pengadaan simulator SIM, Brigadir Jenderal Didik Purnomo.
Febri menjelaskan setidaknya ada tujuh alasan yang membuat penyidikan kasus ini harus dilanjutkan oleh KPK. Tujuh alasan itu adalah:
1. KPK dibentuk untuk menangani kasus besar
Latar belakang pembentukan KPK memang untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum. Karena itu di Pasal 11 UU KPK disebutkan kewenangan menangani korupsi penegak hukum di bagian awal. “Seharusnya hanya KPK yang tangani kasus korupsi yang melibatkan petinggi di Kepolisian, Kejaksaan ataupun Pengadilan.”
2. Penanganan oleh Polri tidak sah
Penanganan kasus simulator SIM oleh Polri tidak sah secara hukum karena bertentangan dengan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang KPK. “KPK sudah melakukan penyidikan, maka kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang menangani kasus tersebut.” Kata Febri, jika Polri tetap menangani kasus ada kemungkinan gugur di pengadilan.
3. Potensi konflik kepentingan
Pengusutan oleh Mabes akan melanggar prinsip-prinsip keadilan. Kata Febri kalaupun tidak ada konflik kepentingan, dengan ada potensi saja maka Mabes harus mundur.
4. KPK lebih independen
Independensi komisi antirasuah sudah terbukti dalam beberapa kasus dan juga sudah dijamin Undang-Undang.
5. Polri terbukti tidak serius mengurus kasus korupsi
Mabes Polri mengklaim sudah melakukan penyelidikan sejak akhir 2011, namun hingga kini belum satu pun tersangka yang ditetapkan. Justru terbukti sebaliknya ketika KPK melakukan penggeledahan, ternyata bukti-bukti masih ada di Korlantas dan tidak sedang diperiksa atau dipelajari oleh Polri. “Wajar rasanya publik meragukan keseriusan Polri menangani kasus ini.”
6. Akan ada aktor tak tersentuh
Febri yakin jika Mabes Polri tetap melanjutkan penyelidikan akan ada aktor tertentu tak tersentuh jika ditangani Polri. Misalnya dalam kasus rekening gendut perwira polri, Mabes justru mengatakan sebagai transaksi yang wajar. Padahal temuan Pusat Pelaporan Analisi Transaksi Keuangan itu seharusnya bisa ditelusuri lebih jauh.
7. Polri harus memberi contoh kepatuhan
Sebagai penegak hukum, Mabes Polri, kata Febri, harus memberi contoh kepatuhan pada proses hukum. Penyerahan kasus pada KPK sekaligus akan menunjukkan itikad baik Polri untuk berubah. “Polri seharusnya tidak menunjukkan penolakan,” kata Febri.
IRA GUSLINA SUFA
Berita terkait:
Lika-liku Kasus Simulator SIM Versi Polisi (I)
Lika-liku Kasus Simulator SIM Versi Polisi (II)
Lika-liku Kasus Simulator SIM Versi Polisi (III)
Lika-liku Kasus Simulator SIM Versi Polisi (IV)
Satu Jenderal Polisi Lagi Jadi Tersangka
Polisi Langgar Wewenang KPK
Gubernur Tersangka, Agenda Akpol Berantakan