TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menyatakan intoleransi di Indonesia bukanlah cerminan meningkatnya radikalisasi di masyarakat, melainkan akibatnya lemahnya penegakan hukum. Menurut Ifdhal, polisi terkadang sulit membedakan kebebasan berekspresi dan tindak kekerasan.
"Radikalisasi atau bukan masih bisa diperdebatkan," kata Ifdhal, Selasa, 10 juli 2012.
Ifdhal menyebut masalah GKI Yasmin, gereja Filadelfia, dan kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah, merupakan pelanggaran HAM. Persoalan itu seharusnya bisa dihindari jika polisi menindak tegas pelakunya. "Masalahnya polisi cenderung ragu untuk menindak sekelompok masyarakat yang melakukan kekerasan," kata Ifdhal.
Akibatnya, banyak orang merasa bisa lepas dari jerat hukum jika melakukan kekerasan. Itu juga yang menyebabkan kekerasan serupa terjadi di berbagai tempat di Indonesia.
Masalah lainnya, Ifdhal menambahkan, belum ada aturan jelas tentang hate speech atau “syiar kebencian”. "Aturan yang tak jelas membuat orang tak takut melakukan tindakan yang menyulut emosi atau amarah kelompok lain," katanya.
Sebelumnya, Pendeta Gomar Gultom dari GPIB Imanuel menyatakan masalah kebebasan beragama di Indonesia mencuat dalam lima tahun terakhir. Masalah itu disebabkan semakin radikalnya kelompok tertentu.
"Bukan persoalan kelompok-kelompok agama, melainkan radikalisasi," kata Gomar usai kunjungan Kanselir Jerman Angela Merkel.
ANGGRITA DESYANI