TEMPO.CO, Boediono - Pada masa kecilnya di Blitar tahun 1950-an, Wakil Presiden Boediono ternyata mengenyam pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah di daerah itu.
”Pada waktu itu, jumlah sekolah dasar, waktu itu sebutannya sekolah rakyat negeri, di kota saya sangat terbatas. Oleh sebab itu, keberadaan SD Muhammadiyah sangat membantu anak-anak yang tidak tertampung di SD negeri. Saya termasuk anak-anak itu,” kata Boediono saat membuka Tanwir Muhammadiyah di Bandung, Kamis, 21 Juni 2012.
”Saya ingat, waktu itu fasilitas SD Muhammadiyah tempat saya belajar sangat minim, kalau tidak dikatakan serba seadanya. Kami tidak diwajibkan berseragam, dan hampir semua murid tidak pakai sepatu. Maklumlah, pada waktu itu di tempat kami, baju baru dan sepatu termasuk barang setengah mewah. Uang sekolahnya pun terjangkau oleh keluarga rata-rata, seperti keluarga saya,” kata Boediono.
Kendati demikian, Boediono mengacungkan jempol bagi pengajarnya. ”Mengingat masa itu, saya berani mengatakan bahwa dengan standar ukuran sekarang pun, para guru saya itu adalah guru-guru yang kompeten sebagai pendidik. Lebih dari itu, mereka mempunyai dedikasi yang sangat tinggi. Beliau-beliau dengan segala keterbatasan yang ada berusaha keras untuk mengajar kami sebisa-bisanya,” kata dia.
”Saya mengatakan bahwa mereka mengajar kami dengan hati. Saya yakin bahwa gaji para guru kami itu, yang dibayar sepenuhnya oleh Yayasan Muhammadiyah setempat, tidak besar. Orang bilang bahwa etos kerja dan dedikasi guru seperti itu adalah sisa-sisa didikan zaman Belanda,” kata Boediono.
Dia masih ingat, di sore tertentu, para murid wajib mengikuti kegiatan kepanduan. ”Yagn diajarkan pada kami, para kurcaci waktu itu sebutannya, adalah dasar kepramukaan seperti team work, keterampilan tali-temali, lagu perjuangan, dan lain-lain,” kata Boediono.
Lewat pengalaman itu, ada beberapa hal yang baginya menyentuh hakikat pendidikan, esensi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. ”Fasilitas sekolah yang minim bukan segala-galanya, bukan kendala utama bagi proses belajar-mengajar. Kedua, dedikasi guru dan kompetensi guru adalah segala-galanya, semua tergantung pada hal yang satu ini,” kata Boediono.
”Sampai sekarang, pengalaman sekolah SD saya itu masih terus membekas di ingatan saya. Saya masih ingat cukup jelas wajah para guru saya, cara mereka mengajar kami, dan apa yang mereka ajarkan pada kami. Betapa mengesankannya pendidikan dasar bagi seseorang, pendidikan yang pertama kalinya membuka otak dan hati seorang anak,” katanya.
Melihat pengalamannya itu, juga perkembangan lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah saat ini, kata dia, pendidikan Muhammadiyah sangat maju. ”Di bidang ini, saya melihat kegiatan Muhammadiyah sudah sangat maju,” katanya.
AHMAD FIKRI