TEMPO.CO, Lampung - Ratusan petugas kebersihan Kota Bandar Lampung berunjuk rasa memprotes tim penilai Adipura yang menempatkan kota mereka sebagai kota terkotor di Indonesia, Senin 11 Juni 2012. Mereka melampiaskan kekesalannya dengan menebar sampah di halaman Kantor Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Lampung.
“Kami tersinggung dan kecewa dengan cara tim penilai Adipura bekerja. Tidak transparan dan penuh permainan kotor,” Sudaryanto, salah seorang petugas kebersihan yang ikut dalam aksi itu, Senin 11 Juni 2012.
Petugas kebersihan yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bandar Lampung itu mendatangi kantor BPLHD Lampung dengan membawa gerobak dan truk sampah. Sesampainya di kantor yang terletak di Jalan Basuki Rahmat itu, peserta aksi yang masih mengenakan pakaian seragam berorasi. “Kami menuntut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Lampung ikut bertanggung jawab atas penilaian yang tidak transparan itu. Mereka ikut dalam tim itu,” kata salah seorang pengunjuk rasa.
Aksi itu membuat aroma busuk di sekitar kantor dan sangat mengganggu pengguna jalan yang melintas. Puluhan aparat keamanan dari Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung yang berjaga-jaga tidak bisa berbuat banyak. Mereka membiarkan para petugas itu melampiaskan kekesalannya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup.
Tidak hanya berunjuk rasa di Lampung, para lurah, camat dan tokoh adat Bandar Lampung juga mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. Mereka menuntut Menteri Lingkungan Hidup meminta maaf secara lisan dan tertulis kepada warga Bandar Lampung. Sebelumnya, massa yang sama juga mengamuk di kantor itu dan menjebol pintu gerbang kantor kementerian.
Baca Juga:
Wali Kota Bandar Lampung Herman HN tak kalah berang. Dia menuding Kementerian Lingkungan Hidup menjadikan kontes Adipura sebagai lahan bisnis dan permainan politik. “Kami tidak mau bayar. Semuanya permainan kotor dan politis. Kota sebersih dan seindah ini dikatakan sebagai kota terkotor. Itu sangat tidak masuk akal,” kata Herman HN dengan nada tinggi.
Sebagian warga menilai aksi para pegawai negeri itu sudah keterlaluan. Mereka mestinya tidak perlu marah dan mengkambinghitamkan tim penilai Adipura. “Pemerintah kota mestinya menyampaikan melalui jalur resmi. Berkirim surat atau datang secara langsung. Itu kan sesama lembaga pemerintah,” kata Arwansyah, salah seorang warga Bandar Lampung.
Arwansyah menduga kemarahan Wali Kota Bandar Lampung lebih disulut ketakutan jika warga menanyakan uang retribusi sampah yang dibayar setiap bulan. Warga diwajibkan bayar uang sampah sebesar Rp 10.000 per bulan. “Atau naik seratus persen dari bulan sebelumnya. Belum lagi para pengusaha rumah makan dan perkantoran. Mereka ditarik retribusi ratusan ribu rupiah setiap bulan. Uang itu mestinya dipertanggungjawabkan secara transparan,” kata lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang.
NUROCHMAN ARRAZIE
Berita lain
KPK Bongkar Mafia Pajak di Balik Tommy
Menelusuri Sindikat Manusia Perahu
Jalur Tikus Manusia Perahu Sampai ke Indonesia
Pedagang Karpet Penyelundup Manusia Perahu
Jimly ‘Serang’ Penggugat Legalitas Wamen