TEMPO.CO, Palembang - Kekerasan aparat terhadap wartawan di Padang, Sumatera Barat, pada Selasa lalu, membuktikan bahwa pelakunya belum memahami kerja jurnalistik. Forum Komunikasi Jurnalis Sumatera Selatan mengutuk keras kejadian tersebut. "Ini bukan hanya sekadar salah paham, tapi sudah mengancam jiwa wartawan," kata Purwantoro, koordinator aksi forum itu, di Bundaran Air Mancur Palembang, Kamis, 31 Mei 2012.
Menurut dia, kejadian serupa kerap terjadi di beberapa daerah lain. Namun, sejauh ini, tidak ada penyelesaian yang mengarah pada upaya memberi efek jera bagi pelaku kekerasan. "Kasus seperti di Padang tidak cukup dengan minta maaf, ini harus diproses sesuai UU Pers."
Kasus pemukulan wartawan terjadi pada Selasa lalu. Pelakunya diduga anggota marinir. Pemicunya berawal dari penertiban sebuah kafe oleh Satuan Polisi Pamong Praja di kawasan Bungus. Pada saat penertiban itu, anggota militer tersebut menghadang petugas dari pemerintah daerah setempat.
Aksi simpatik kalangan media ini diikuti puluhan wartawan, yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis TV Indonesia (IJTI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Ketua PWI Sumatera Selatan Oktaf Riadi mengatakan kekerasan aparat negara terhadap wartawan memprihatinkan. Aparat tersebut sungguh tidak memahami keberadaan UU Pokok Pers 40/1999. "Bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi undang-undang, bukan kerja serampangan," kata Oktaf Riadi.
Oktaf juga mengatakan sulit baginya untuk mempercayai tindak premanisme yang dilakukan sejumlah prajurit terhadap tujuh jurnalis di Padang. Akibatnya, selain luka fisik, juga ada perampasan alat kerja berupa kamera dan kaset hasil peliputan. "Kenapa bisa aparat sampai melukai fisik dan juga merampas kaset milik wartawan, ini harus jadi atensi bagi Panglima TNI," ujar Oktaf.
Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Agus Suhartono membantah ada penganiayaan terhadap wartawan di Padang. "Bukan penganiayaan. Tidak ada yang sengaja dianiaya," kata dia, Rabu, 30 Mei 2012.
PARLIZA HENDRAWAN