TEMPO.CO, Yogyakarta - Ratusan masyarakat dari berbagai elemen di Yogyakarta siang tadi mendatangangi Puro Pakualaman Yogyakarta untuk memberikan dukungan moril dan fisik kepada Pakualaman IX KPH Ambarakusumo yang bertakhta terkait dengan polemik Pakualam kembar dengan adanya pengukuhan KPH Anglingkusumo.
Elemen masyarakat yang datang itu di antaranya berasal dari forum Paksi Katon, Forum Jogja Rembug, Komunitas Code, dan Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan DIY yang tergabung dalam Gerakan Anti Makar Yogyakarta.
Mereka datang dengan berpakaian hitam-hitam dan sebagian dengan pakaian adat abdi dalem itu datang mengendarai sepeda motor dan mobil serta membawa puluhan bendera berlambang keraton. Kelompok ini juga membawa berbagai poster kecaman terhadap Angling di antaranya “Anglingkusumo Raja Mesum”, “Usut pemerkosa END”, “Anglingkusumo persis kompeni: Pecah belah keluarga sendiri demi keuntungan pribadi”, “Setelah memperkosa Bakul Jamu sekarang memperkosa Pakualaman”, dan “Warga Yogya siap gantung Anglingkusumo”
Tak hanya itu, di depan gerbang masuk Puro Pakualaman pun dibentangkan dua spanduk besar di sisi kanan kiri pintu yang menggambarkan wajah Anglingkusumo dalam lingkaran target bertulis “Anglingkusumo beserta gerombolan makarnya dilarang masuk Puro Pakualaman !!”
Kedatangan mereka ditemui keluarga dan kerabat pakualaman seperti KPH Tjondrokusumo, KPH Kusumo Parastho, serta putra bungsu PA IX Ambarkusumo, BPH Hario Danardono.
Sambil duduk bersila berhadapan di Pendopo Pakualaman, koordiator aksi Mohammad Suhud menuturkan kedatangan mereka untuk menyatakan dukungan kepada Pakualam IX bertakhta demi meredam kekacauan dan gejolak yang diakibatkan pengukuhan Anglingkusumo sebagai Pakualam IX yang terjadi dua pekan lalu di Kulonprogo.
Saat itu kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Sabang-Merauke serta Masyarakat Adikarto mengukuhkan Anglingkusumo sebagai raja yang berhak bertakhta di Pakulaman dengan dasar perjanjian Pakualaman VIII saat mempersunting putri dari Keraton Solo, K.R. Ay Ratnaningrum.
“Kami tak permasalahkan siapa pun yang bertakhta di Pakualaman. Jika 12 tahun lalu yang dikukuhkan Pak Angling dan menghadapi gejolak seperti ini pun kami juga siap bela,” kata Mohammad Suhud.
Namun langkah Angling kali ini membuat gerah masyarakat Yogya karena melanggar paugeran (tata adat) yang dijaga ratusan tahun oleh keraton.
Pengukuhan dilakukan di luar kerajaan dan tak ada prosesi apa pun itu dinilai menghina adat. Parahnya hal ini berdampak pada polemik di tingkat bawah, sehingga masyarakat merasa perlu turut campur karena mengganggu ketenteraman Yogyakarta yang telah terjaga.
“Kami masyarakat pun sangat tahu dan tak buta bahwa Angling hanyalah antek di balik pemerintah pusat pihak yang ingin mengacau DIY, soal keistimewaan DIY,” kata Suhud. Masyarakat pun, kata dia, menyatakan siap mengusir Angling dan kelompoknya jika terus melanjutkan aksinya.
Setelah dikukuhkan di Kulonprogo, Senin besok, 30 April 2012, Angling juga akan mengikuti pengukuhan dirinya sebagai PA IX di Gunung Kidul oleh Serikat Masyarakat Sejahtera (Semesta).
Sebelumnya Angling menuturkan gerakannya bukanlah gerakan untuk makar kepada negara, tapi hanya pelurusan sejarah. “Saya tetap patuh kepada NKRI,” kata dia. Soal pengukuhannya pun dinilai dia sebagai gerakan budaya untuk mendapat kembali haknya, meski itu terpaksa dilakukan di luar Pakualaman.
PRIBADI WICAKSONO