TEMPO.CO, Surabaya - Tak semua polisi bisa diberikan senjata api saat menjalankan tugas. Juru bicara Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Polisi Hartoyo mengatakan, mereka yang mendapat senjata api saat bertugas biasanya harus mendapat izin dari pemimpin kesatuannya.
Izin itu diajukan oleh Kapolsek ke Biro Personalia yang kemudian mensyaratkan sejumlah tes untuk mendapatkan senjata api itu. ”Di antaranya, personel akan diberi senpi harus lulus tes psikologi dan tes kesehatan, termasuk kejiwaan,” kata Hartoyo, Jumat, 13 April 2012.
Bahkan, izin pemakaian senpi bagi perwira juga kudu mendapat persetujuan kapolda. Izin diberikan dengan melihat kondisi kejiwaan dan keluarga dari personil. Jika keluarganya bermasalah, senpi akan disita. Selain itu, setiap dua pekan sekali seluruh senjata api juga dikumpulkan di bagian Propam untuk diperiksa. "Izin menggunakan senjata api dikeluarkan setahun sekali. Tiap tahun setiap personel yang bawa senpi harus perbaharui izin," ujar Hartoyo.
Menurut Hartoyo, senpi hanya diberikan ke personel lapangan, anggota satuan reserse, polisi lalu lintas, tetapi tidak personel intelejen. Jenisnya pun sama, revolver colt detektif kaliber 38. "Tiap tahun bagi personel yang lulus ujian dibekali satu pistol dengan 12 peluru," ucap Hartoyo memaparkan. "Pemakaian juga dilihat dan tiap butir peluru ada berita acaranya. Polisi hanya bisa melumpuhkan, bukan membunuh."
Kasus penembakan oleh polisi terjadi Kamis kemarin, 12 April 2012. Briptu Andika Surya, 32 tahun, menembak kepala Fauzi, 32 tahun, di cafe 76, Maospati, Magetan. Sebeluknya, keduanya terlibat cekcok mulut. Briptu Andika sehari-hari bertugas di Kepolisian Sektor Bendo, Kabupaten Magetan,
Sebelunya, 28 Oktober 2011, anggota Satuan Reserse Polres Sidoarjo, Briptu Eko Ristanto, 29 tahun, menembak mati Riadis Solihin, warga Sidoarjo yang sehari-hari guru mengaji dan anggota GP Ansor Sidoarjo.
Dalam kasus ini, Kasat Serse Polres Sidoarjo, Ajun Komisaris Polisi Ernesto Sauser beserta enam anak buahnya merekayasa kasus seolah-olah Briptu Eko terpaksa menembak karena Solihin melakukan perlawanan menggunakan celurit. Padahal, Solihin tidak membawa celurit. Di lain pihak, celurit yang digunakan untuk rekayasa diambil dari polres, kemudian digenggamkan ke tangan Solihin yang sudah menjadi mayat di ruang jenazah RSUD Sidoarjo. Bahkan, agar kelihatan benar-benar Solihin mencelurit, jari kelingking kanan Eko digores dengan celurit tersebut agar darahnya menempel di clurit.
Ernesto dan enam anak buahnya saat ini menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Sidoarjo atas perbuatan merekayasa kasus tersebut.
FATKHURROCHMAN TAUFIQ | JALIL HAKIM