TEMPO.CO, Surakarta - Kementerian Agama menolak dengan tegas ide penyelenggaraan haji diambil alih oleh swasta. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bachrul Hayat mengatakan pemerintah tetap menjadi operator dan regulator karena haji menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Tidak ada rencana pemisahan antara operator dan regulator. Pemerintah tetap menjalankan fungsi keduanya sesuai amanat undang-undang,” katanya kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam seminar internasional tentang manajemen haji di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Kamis, 12 April 2012.
Menurut dia, jika penyelenggaraan haji dipegang swasta, bisa dipastikan ada kenaikan biaya haji antara 25-30 persen. “Sebab, swasta pasti melanggar prinsip nirlaba,” ujarnya.
Sementara jika dipegang pemerintah, dia mengklaim jemaah calon haji hanya membayar 70 persen dari total kebutuhan haji karena 15-17 persen biaya ditanggung dari hasil dana manfaat dan 12-13 persen dibiayai APBN. “Pemerintah sebenarnya sudah mensubsidi jemaah haji. Misalnya untuk pemondokan. Yang harusnya bayar 3.700 dolar, jemaah haji hanya membayar 3.150 dolar,” katanya.
Dalam seminar itu, guru besar Suez Canal dari Mesir, Muhammad Dawood, mengatakan penyelenggaraan haji di Mesir ditangani swasta. “Pelayanannya sangat memuaskan,” ucapnya. Menurut dia, pihak swasta mampu menyelenggarakan ibadah haji dengan sangat bagus.
Baca Juga:
Dawood menambahkan, sistem pemberangkatan di Mesir dilakukan dengan cara undian. Kuota yang ada diundi dan masyarakat yang mendapat jatah bisa memutuskan berangkat atau tidak. Yang siap berangkat baru membayar kepada penyelenggara haji.
Bachrul mengingatkan Indonesia pernah punya pengalaman menunjuk swasta sebagai penyelenggara haji pada 1952. Saat itu sebagai penyelenggara adalah PT Pelayanan Arafat. Kemudian pada 1959 dilakukan oleh Yayasan Penyelenggara Haji Indonesia.
“Tapi keduanya kolaps. Melihat hal itu, pemerintah ambil alih mulai 1985 sampai sekarang,” ujarnya. Untuk swasta, saat ini diberi kesempatan menyelenggarakan haji khusus.
Soal undian seperti di Mesir, dia mengatakan Indonesia pernah melakukan sistem serupa pada 1960-1970. “Tapi saat itu terjadi jual beli kuota. Akhirnya pemerintah memilih sistem antre sampai sekarang,” katanya.
Dengan sistem antre, kata Bachrul, ada kepastian untuk berangkat. Sementara untuk undian, tidak ada kepastian. “Coba kalau ada yang usianya lanjut, kasihan karena tidak pasti. Sementara dengan antrean, mereka bisa didahulukan,” ujarnya.
UKKY PRIMARTANTYO