TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang sudah sampai draft kedua dibahas oleh Komisi VIII DPR, menuai kontroversi. Dalam tabligh akbar Menolak RUU Gender Liberal, di Mesjid Sunda Kelapa, Menteng, pada 8 April 2012, organisasi Islam Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan beberapa cendekiawan Islam menyebut aturan ini merupakan produk budaya dan liberal.
Acara ini menghadirkan beberapa pakar hukum Islam seperti, H. Adian Husaini (dosen pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor), H. Zaytun Rasmin (ketua umum Wahdah Islamiyah), Dr. Ahmad Zain an-Najah (hukum Islam, DDII), H. Jeje Zainuddin (hukum Islam, Persis), H. Henri Shalahuddin MA (peneliti gender, Insist-Institute for The Study of Islamic Thought and
Civilizations), perwakilan cendekiawan muslim, Prof Dr Marwah Daud Ibrahim dan figur publik, Astri Ivo.
Menurut Sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir Lc, definisi gender dalam RUU bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan. Dalam Islam, pembagian peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan pada budaya, tetapi berdasarkan wahyu yang bersifat lintas zaman dan budaya.
Selain itu, makna kesetaraan dan keadilan dalam RUU KKG, terutama dalam Pasal 1, 2, dan 3 memiliki pertentangan dalam ajaran Islam. Sebab dalam Islam, pemaknaan hal tersebut tidaklah berarti persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam semua hal.“Kalau tidak dikritisi oleh para ulama, RUU ini bisa bahaya,” ujar Bachtiar.
Adian Husaini menyebut, pasal 4 RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender memberikan gambaran berlebihan tentang kemajuan dan peran perempuan dalam pembangunan. Sehingga memaksakan keterlibatan perempuan di dalam ruang publik di semua lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk memberikan jatah 30 persen kepada kaum perempuan. Dan mengucilkan makna peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak-anak di rumah.
“Gender tidak ada istilahnya dalam Islam, ia datang dari dunia barat yang antagonis. Sementara Islam mengusung konsep harmoni antara pria dan wanita, bukan semangat perlawanan dan pemberontakan,” kata Adian.
Bachtiar menegaskan, ini bukan semata-mata membidik RUU. Terlalu kecil sifatnya kalau hanya membidik rancangan undang undang. Ia mengatakan, umat Islam harus bersatu menghadang paham liberalisme. “Bersatu saja belum tentu menang apalagi sendiri sendiri, karena ke depan yang dihadapi monster besar yang masuk lewat pintu liberalisme. Masih fajar menyingsing maka segera bangunkan umat,” katanya.
EVIETA FADJAR