TEMPO.CO, Jakarta- Aliansi Serikat Buruh dan Serikat Pekerja Tangerang Raya pesimistis surat edaran yang dikeluarkan kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja akan dilaksanakan oleh pengusaha. “Saya tidak percaya perusahaan tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja buruh,” kata Koordinator Aliansi Serikat Buruh dan Serikat Pekerja Tangerang Raya Koswara saat dihubungi Selasa, 27 Maret 2012.
Menurutnya, kenaikan harga bahan bakar minyak pasti akan menambah ongkos produksi perusahaan. Sehingga perusahaan harus mencari cara menekan ongkos produksinya tersebut. Salah satu caranya yaitu PHK. “Biasanya dalih itu yang digunakan perusahaan,” kata dia. Contohnya saat ada kenaikan upah minimum regional. Banyak perusahaan yang merumahkan pekerjanya untuk mengurangi ongkos produksi yang membengkak. Koswara memperkirakan hal yang sama juga akan terjadi seiring dengan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Terlebih lagi, kata dia, surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. “Tidak ada sanksi yang mengikat,” ujar dia. Akibatnya surat edaran hanya sesuatu yang sia-sia dan tidak memiliki kepastian hukum bahwa pengusaha benar-benar tidak diperbolehkan melakukan PHK.
Menurutnya, surat edaran itu bukan cara untuk memberikan jaminan pekerjaan bagi buruh karena masalah utama sebenarnya adalah kenaikan BBM. Ia menjelaskan jika pemerintah tidak menaikkan harga tentunya pengusaha tidak memiliki alasan untuk melakukan PHK. Berdasarkan penilaiannya kebijakan menaikkan harga BBM tidak responsif dengan kondisi buruh saat ini.
Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tertanggal 22 Maret 2012 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam surat edaran tersebut Muhaimin meminta kepala daerah mengimbau pengusaha untuk tidak melakukan PHK sebagai efisiensi perusahaan. Sebagai gantinya, Menteri Muhaimin mengimbau pengusaha melakukan efisiensi biaya produksi dari sektor lain.
Dalam rilisnya Muhaimin juga meminta pengusaha dan pekerja mengedepankan dialog saat terjadi perselisihan industrial. Jika memang PHK terpaksa dilakukan pengusaha, maka PHK tersebut harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal yang sama juga diminta oleh Koswara. “Jika memang harus ada PHK, maka PHK harus melalui prosedur dalam peraturan perundang-undangan,” ujarnya. Perusahaan, kata dia, harus mampu menunjukkan bahwa mereka tidak lagi mampu mempekerjakan buruh. Selain itu, hak-hak pekerja juga harus terpenuhi seluruhnya.
RAFIKA AULIA