TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana Chaerul Huda dicecar soal unsur penerimaan suap dalam sidang terdakwa kasus suap Wisma Atlet Jakabaring, Muhammad Nazaruddin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin 12 Maret 2012. Chaerul hadir dalam sidang selaku saksi meringankan untuk Nazar.
Salah seorang pengacara Nazar, Hotman Paris Hutapea, awalnya bertanya kepada Chaerul soal alat bukti yang bisa menunjukkan seorang terdakwa menerima suap. "Bila tidak ada saksi yang bisa memberikan kesaksian terdakwa menerima uang, apakah pasal suap bisa diterapkan?" ujarnya.
Menurut Chaerul, pasal suap bisa diterapkan jika terdakwa menerima uang dalam bentuk fisik atau langsung ataupun tidak langsung. "Contohnya, terdakwa menerima suap lewat transfer. Itu berarti terdakwa tidak menguasai uang secara fisik, tapi menguasai secara yuridis," kata dia.
Chaerul menilai delik suap harus membuat penyidik ataupun jaksa penuntut umum membuktikan adanya aliran uang, secara fisik ataupun yuridis. Jika soal itu belum ditetapkan penyidik atau jaksa, terdakwa tidak bisa dikatakan menerima suap. Yurisprudensi di Belanda disodorkan Chaerul sebagai contoh. "Ada yurisprudensi tentang orang yang menjajakan susu tidak murni sebagai susu murni. Tapi karena tidak ada yang beli susunya, dia belum bisa dikatakan menjual susu tidak murni," ujarnya.
Hotman lalu bertanya unsur suap mana yang harus dibuktikan jaksa jika ada pemberian komisi, tapi dari perusahaan swasta ke perusahaan swasta lainnya. Menurut Chaerul, jika itu yang terjadi, jaksa harus terlebih dulu melihat jabatan pihak yang diduga terlibat suap. "Yang harus dibuktikan adalah apakah penerimaan suap diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kalau yang menerima bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara, itu bukan suap," kata Chaerul.
Selain itu, kata Chaerul, jaksa juga harus membuktikan apakah si pejabat negara melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kewajibannya. "Dari perspektif hukum pidana, harus dilihat, apakah yang bersangkutan melakukan perbuatan melawan hukum atau tidak."
Tim JPU pimpinan I Kadek Wiradana menjerat Nazar dengan pasal suap dan gratifikasi dalam kasus suap Wisma Atlet, yakni Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf a dan b, dan atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Nazar didakwa menerima Rp 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah, kontraktor proyek Wisma Atlet. Dalam persidangan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, membenarkan ada empat lembar cek senilai Rp 4,3 miliar dari PT DGI terkait dengan proyek Wisma Atlet yang disimpan di brankas perusahaan. Manajer Pemasaran PT DGI, Mohammad El Idris, juga membenarkannya.
Adapun Nazar mengaku tak tahu soal komisi dari PT DGI. Alasannya, bos Grup Permai pada 2010 sudah bukan lagi dirinya, melainkan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Ia juga menyebut Anas kecipratan komisi proyek sebesar Rp 2 miliar. Hal itu dia ketahui dari pengakuan Angelina Sondakh di hadapan Tim Pencari Fakta Demokrat.
ISMA SAVITRI
Berita Terkait
Kuasa Hukum Anas Pilih 'No Comment'
KPK Enggan Tanggapi Pernyataan Anas
Ruhut: Gantung Diri di Monas, Anas Ngikutin Saya!
Seperti Angie, Demokrat Juga Tak Bela Anas
Soal Gantung Diri, Anas Dinilai Tak Cuma Panik, tapi...