TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus terorisme, Umar Patek, membantah dakwaan jaksa penuntut umum karena dakwaan dianggap tidak cermat dan tidak jelas. Beberapa pasal yang digunakan untuk menjerat Umar Patek pun dianggap tidak seharusnya didakwakan. “Uraian peristiwa tidak jelas dan tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan,” kata salah seorang kuasa hukum Umar Patek yang membacakan eksepsi dalam sidang eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 20 Februari 2012.
Dalam dakwaan pertama Patek diduga memasukkan senjata dari Filipina ke Indonesia dan melakukan uji coba tiga pucuk senjata M16 untuk digunakan pada pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh. Ia dijerat Pasal 15 jo Pasal 9 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam bantahannya Umar Patek mengaku tidak pernah terlibat dalam uji coba tiga pucuk senjata api M16. “Apalagi mengikuti pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh,” kata salah seorang pengacara Patek yang membacakan eksepsi.
Menurut tim kuasa hukum, saat uji coba senjata terjadi di Banten, Patek datang ke Banten karena diundang menghadiri perkawinan temannya yang bernama Hasan Nur alias Blackberry. Patek datang ke Desa Panyaungan, Kecamatan Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, semata-mata karena undangan tersebut. Dalam eksepsi disebutkan Patek tidak punya niat melakukan tindak terorisme ketika menghadiri undangan perkawinan itu. “Jangankan ikut melakukan uji coba tiga pucuk senjata api M16 yang didakwakan, jenis senjata yang dimaksud oleh jaksa saja tidak pernah dilihat terdakwa,” pembela Patek menuturkan.
Soal senjata yang ia bawa dari Filipina bersama sang istri, tim kuasa hukum membantah bahwa aksi membawa senjata tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Saat itu Patek bersama sang istri, Hasan Nur alias Blackberry, dan Hary Kuncoro membawa tiga pucuk pistol FN dan satu revolver dan sejumlah peluru.
Dalam eksepsi tersebut Patek juga membacakan keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum atas beberapa kasus yang terjadi sebelum penetapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam kasus pengeboman enam gereja yang terjadi pada 2000, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum ditetapkan dan undang-undang ini tidak berlaku surut.
“Terdakwa juga didakwa atas perkara yang terjadi sebelum diundangkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hal ini jelas melanggar kaidah hukum yang berlaku,” kata kuasa hukum yang membacakan eksepsi. Akibatnya, dakwaan menjadi rancu bahkan kabur (obscuur libel). Seluruh dakwaan adalah kejadian yang terjadi sebelum UU No 15 Tahun 2003 itu ditetapkan.
Pengeboman gereja tersebut terjadi pada 24 Desember 2000. Enam gereja tersebut adalah Gereja Katedral, Kanisius, Oikumene, Santo Yosep, Koinonia, dan Anglikan.
Mengenai dakwaan telah dengan sengaja dan terencana merampas nyawa orang lain, Patek membantah bahwa ia telah turut serta dalam upaya pembunuhan terencana tersebut. Dalam eksepsi disebutkan peran Patek hanya sebatas memenuhi permintaan Imam Samudra untuk mencampur bahan peledak dengan Sarjoyo.
Berdasarkan uraian eksepsi tersebut, penasihat hukum meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menerima eksepsi secara keseluruhan, menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, dan membebankan biaya perkara kepada negara.
ANANDA W. TERESIA