TEMPO.CO, Lampung - Tim Terpadu Penertiban dan Perlindungan Hutan yang dibentuk Pemerintah Provinsi Lampung meminta ribuan perambah di kawasan Register 45 Mesuji segera keluar dari kawasan hutan.
Tim memberi batas waktu hingga akhir Februari sebelum diusir secara paksa. “Kami sudah memberikan sosialisasi dan penyadaran terhadap warga dengan surat edaran, pamflet, dan memasang papan pengumuman,” kata Pejabat Bupati Mesuji, Albar Hasan Tanjung, Rabu, 15 Februari 2012.
Albar mengatakan dirinya turun langsung mendatangi tenda-tenda darurat milik warga untuk memberikan surat edaran dan memberi pengertian mereka agar meninggalkan lokasi tersebut.
Albar berharap penertiban kali ini tidak mendapat perlawanan para perambah, sehingga tidak terjadi bentrok. “Sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai tanpa kekerasan. Pendataan akan dilakukan untuk mengetahui identitas para perambah,” ujarnya.
Saat ini sekitar 3.000 warga mendiami tenda-tenda darurat di Register 45 Sungai Buaya, mulai dari Tugu Roda hingga Simpang D. Mereka umumnya datang saat isu pembantaian petani Mesuji tersiar di media massa. “Sebagian besar adalah pendatang baru, bukan yang telah kami gusur dua tahun lalu,” ucap Albar.
Tim terpadu yang terdiri dari kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi Kehutanan, dan Badan Pertanahan Nasional Lampung itu menegaskan lahan yang sekarang diduduki para perambah bukan milik Lembaga Adat Megow Pak.
Lembaga Adat Megow Pak, kata Albar, tidak memiliki hak tanah ulayat di Kabupaten Mesuji. “Mesuji tidak masuk federasi adat Megow Pak. Mereka tidak mempunyai hak apa pun di tanah Mesuji,” tutur Albar.
Para perambah di kawasan itu sebelumnya mendirikan tenda secara bergerombol di satu lokasi. Kini mereka sudah berpencar setelah mendapat jatah kapling tanah dari Lembaga Adat Megow Pak. “Kami tidak akan pergi karena tanah ini milik lembaga adat Megow Pak,” kata Widi, 56 tahun, salah seorang perambah.
Kebanyakan perambah bertekad akan melawan jika Tim Terpadu melakukan penggusuran. Mereka minta pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang menggusur warga yang ada di kawasan itu. “Rakyat memiliki hak yang sama dengan para pengusaha untuk menguasai lahan. Pemerintah harus berpihak kepada rakyat,” ucap Widi.
Penertiban kawasan Register 45 yang saat ini hak penguasaannya dimiliki PT Silva Inhutani selalu mendapat perlawanan warga. Pada penertiban 6 November 2010 lalu seorang warga bernama Made Aste tewas diterjang peluru aparat saat melawan penggusuran. “Kami berharap tidak terulang. Sebisa mungkin jalan perundingan akan kami tempuh,” kata Albar.
NUROHMAN ARRAZIE