TEMPO.CO, Jakarta - Forum Keadilan Perempuan mendesak pemerintah segera menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Upaya ini dinilai sebagai salah satu langkah konkret untuk melindungi perempuan. Sebab, meski RUU inisiatif pemerintah ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2009-2014, gaungnya belum terdengar.
"Undang-undang ini penting untuk menjawab kekosongan mekanisme pendampingan korban-korban kekerasan terhadap perempuan, terutama tentang perkosaan," ujar anggota Forum keadilan Perempuan, Estu Fanani, di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Senin, 13 Februari 2012.
Menurut Estu, kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini meningkat. Parahnya, kekerasan bertambah ekstrem karena terjadi di ruang publik, seperti pemerkosaan yang terjadi di angkutan umum belakangan ini. Dalam setiap pendampingan, yang bisa dilakukan aktivis perempuan selama ini hanya berpatokan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKdRT) yang mengatur pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga.
Selain pentingnya undang-undang ini, Estu juga berharap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera merevisi Undang-Undang KUHP. Sebab, menurut dia, dalam KUHP, definisi pemerkosaan tidak relevan lagi dengan situasi saat ini. Sudah saatnya pasal yang membahas pemerkosaan dikeluarkan dari bab kesusilaan dan dimasukkan pada bab kekerasan seksual.
"Definisi perkosaan adalah penetrasi alat kelamin lelaki dan perempuan, dan jika tidak terjadi penetrasi, tidak dianggap sebagai perkosaan. Padahal itu juga bisa terjadi dengan tangan, alat, dan lain sebagainya. Ini kelemahan pasal ini," ujarnya.
Estu mengatakan aktivis perempuan berharap pemerintah, terutama penegak hukum, lebih serius menangani kasus-kasus semacam ini. Kasus pemerkosaan merupakan salah satu kekerasan yang cukup parah karena tak hanya kekerasan fisik, tapi juga psikologis yang mengakibatkan trauma lama pada korbannya.
"Tidak ada ruang pemulihan maksimal, malah kadang polisi tidak memberi persiapan psikologis yang cukup bagi korban saat harus memberikan berita acara kepolisian (BAP). Kami harus berkompromi yang lama dengan aparat," ujarnya.
MUNAWWAROH