TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hariyadi Wiryawan, menilai Indonesia harus tetap bisa berhati-hati menyikapi jeratan konflik politik internal di Papua Nugini. Hariyadi menilai konflik internal dalam pemerintahan Papua Nugini sangat mungkin terbawa dalam kasus protes terhadap intersepsi tersebut sangat mungkin benar.
"Karena dalam pemerintahan Papua Nugini sendiri ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebijakan Indonesia dalam menangani masalah di Papua. Bisa saja hal itu terkait," kata Hariyadi kepada Tempo, Senin, 9 Januari 2012. (baca: Tolak Usir Dubes RI, PM PNG Terancam Dikudeta)
Apalagi di tengah upaya penyelesaian itu sempat muncul ancaman dari Papua Nugini untuk menarik Duta Besar Papua Nugini untuk Indonesia serta mengusir Duta Besar RI Andreas Sitepu dari Port Moresby. "Jika kemudian asumsi itu meluas ke arah upaya pemutusan diplomatik pun bisa saja," ujarnya.
Hariyadi menilai pemerintah Indonesia memang harus bersikap hati-hati untuk menangani masalah ini. "Kita tetap harus memilih tindakan diplomatik yang tepat. Karena bagaimanapun juga Papua Nugini penting untuk Indonesia dan juga sebaliknya," ujarnya. Adanya keinginan Papua Nugini untuk masuk keanggotaan ASEAN juga menjadi bukti pentingnya hubungan kedua negara ini.
Sejauh ini Hariyadi menilai tindakan yang dilakukan pemerintah Indonesia menyikapi masalah intersepsi sudah tepat. Mendatang, Indonesia memang harus terus bisa menjaga hubungan diplomatik agar konflik politik yang terjadi di Papua Nugini tidak berimbas pada putusnya hubungan diplomatik antara kedua negara ini.
Baca Juga:
Pencegatan terhadap pesawat jet Falcon yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah berlangsung pada 29 November 2011 lalu. (Baca: Insiden Pencegatan 37 Menit). Insiden itu mencuat ke publik setelah Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Balden Namah, melalui media massa, mengancam mengusir Duta Besar RI Andreas Sitepu dari Port Moresby, ibu kota negaranya. Namun akhirnya, Perdana Menteri Papua Nugini O'neil memberikan pandangan bahwa tidak akan ada pemutusan hubungan diplomatik dari kejadian tersebut. (Siapakah Belden Namah, Penumpang Jet PNG?)
O'neil pun mengklarifikasi bahwa pesawat jet Falcon yang digunakan Deputi Perdana Menteri Belden Namah merupakan pesawat carteran pribadi, bukan digunakan untuk urusan negara. Untuk mencegah kejadian serupa, otoritas setempat diminta untuk melakukan penyelidikan internal.
EZTHER LASTANIA
Berita Terkait
Siapakah Belden Namah, Penumpang Jet PNG?
Ini Kesaksian Pilot Jet Falcon Papua Nugini
Unjuk Rasa di Kedubes RI Port Moresby Dibubarkan
Hikmahanto: Cari Tahu Apa Penyebab PNG Marah
Beginilah Aksi 37 Menit 'Menjepit' Jet Papua Nugini I