TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirimkan dua tim investigasi untuk menyelidiki kronologi dan penyebab kerusuhan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Tim akan menyelidiki kronologi kerusuhan di Pelabuhan Sape Bima dan persoalan izin tambang yang menyebabkan terjadinya bentrok warga dan aparat.
Wakil Ketua Bidang Eksternal, Nurcholis, menyebutkan tim pertama dipimpin Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh sudah berangkat pagi tadi menuju Bima. Sedangkan tim kedua dipimpin Nurscholis akan bertolak menuju Lombok besok pagi. "Intinya kami akan menyelidiki kronologi kerusuhan dan memperdalam soal izin tambang emas yang menjadi penyebab utama bentrokan," ujar Nurcholis kepada Tempo, Selasa, 27 Desember 2011.
Menurut Nurcholis, setiap tim terdiri dari dua orang dan akan dibantu oleh jaringan Komnas HAM yang ada di Bima dan Lombok. Di Bima, Ridha Saleh akan meninjau lokasi kerusuhan dan bertemu dengan keluarga korban tewas akibat aksi brutal polisi. Selain itu tim juga akan mengumpulkan keterangan dari saksi, masyarakat, Kapolres Bima, Bupati Bima, dan Ketua DPRD Bima.
Sedangkan tim Lombok akan bertemu dengan Gubernur NTB, Kapolda NTB, Ketua DPR NTB, serta beberapa LSM yang sejak awal terlibat mengadvokasi warga Bima terkait dengan izin tambang. "Kepada Gubernur kami akan meminta keterangan ihwal izin pertambangan yang ada di wilayah Bima," ujar Nurcholis.
Selain bertemu dengan pejabat pemerintah, Komnas juga menjadwalkan akan bertemu dengan perwakilan PT Sumber Mineral Nusantara yang ada di Lombok. Mereka akan mengklarifikasi perizinan yang diperoleh perusahaan. Investigasi Komnas HAM di Bima dan Lombok rencananya akan berakhir Kamis malam. "Jika memungkinkan kami akan sampaikan temuan pada Kamis malam di Lombok," ucap Nurcholis.
Adapun insiden di Bima pada 24 Desember lalu menewaskan tiga orang warga. Warga memprotes Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang memberikan izin penambangan emas kepada PT Sumber Mineral Nusantara karena dianggap merusak hutan dan mengganggu mata pencarian mereka sebagai petani.
IRA GUSLINA