TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, menilai penanganan huru-hara yang dilakukan polisi dalam tragedi Bima salah. Menurutnya, penggunaan peluru tajam oleh polisi untuk melakukan pembubaran masa menyalahi aturan. "Penggunaan peluru tajam dibenarkan sebatas polisi itu terancam nyawanya. Kalau dia mau dibacok, parang itu ada di depan muka dia, baru boleh dipakai. Istilah dalam hukum polisi dalam keadaan overmacht, terpaksa dia," kata dia ketika ditemui Tempo di Jakarta, Senin, 26 Desember 2011.
Sebelumnya, dua orang masyarakat Desa Lambu menjadi korban dalam bentrokan antara masyarakat dan pihak kepolisian di Sape, Bima, Sabtu lalu. Kedua orang ini adalah bagian dari masyarakat Lambu yang memprotes Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang memberikan izin penambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara dengan terbitnya Surat Keputusan Nomor 188/45/357/004 tahun 2010 lalu. Sebagai aksi protes, mereka memblokir jalan menuju dan dari Pelabuhan Sape.
Namun aksi yang sudah berlangsung selama lima hari ini berakhir tragis. Pihak kepolisian membubarkan paksa aksi ini dengan melakukan penembakan terhadap kerumunan masyarakat yang akhirnya menyebabkan Arif Rahman, 19 tahun dan Syaiful, 17 tahun, meregang nyawa. Mereka meninggal dengan luka tembak di bagian tubuhnya.
Bambang menyayangkan tragedi ini. Menurutnya, sebagai aparat pengamanan, polisi seharusnya tak gegabah melakukan tembakan ke arah masyarakat. Menurutnya, dalam penanganan massa, Polri memiliki prosedur yang seharusnya dilakukan. Ia mengatakan Polri seharusnya melakukan negosiasi terlebih dahulu dengan masyarakat untuk melakukan langkah persuasif. "Kalau perlu, yang turun untuk bernegosiasi langsung sekelas perwira menengah seperti kapolda, jangan bintara," ujarnya.
Langkah negosiasi ini, menurut Bambang, wajib dilakukan oleh Polri sebelum melakukan langkah selanjutnya. Namun jika pun langkah negosiasi ini gagal membujuk massa untuk membubarkan diri, Bambang mengatakan tak perlu menggunakan prosedur tetap tembak di tempat. Menurutnya, protap ini hanya bisa dilakukan dalam situasi yang genting dan terdesak. "Hanya boleh digunakan dalam keadaan terpaksa, itu pun tembakan yang melumpuhkan, dari lutut ke bawah, bukan tembakan ke arah tubuh atau kepala," ujarnya.
Soal siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi ini, menurut Bambang, tak cukup hanya menyalahkan para aparat keamanan yang ada di lapangan saat itu. "Itu harus dirunut komandonya. Kalau perlu ditelusuri sampai tingkat Presiden, karena kepolisian itu berada di bawah Presiden," ujarnya.
FEBRIYAN