TEMPO Interaktif, Jakarta - Wali Amanat Universitas Indonesia akan mengadu ke Komisi Pendidikan DPR, besok. Kedatangan mereka menurut anggota Komisi X Dedi Gumelar untuk menyampaikan uneg-uneg tentang pengelolaan Universitas Indonesia oleh Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri.
Salah satunya terkait pemberian gelar Doktor Honoris Causa pada Raja Arab, Abdullah, pada 21 Agustus lalu. "Besok pukul 14.00 WIB, kami akan menerima kedatangan mereka," ujar Dedi ditemui Tempo di ruang kerjanya, Selasa, 6 September 2011.
Baca Juga:
Menanggapi pemberian gelar HC ini, Komisi X ikut bereaksi. Akan tetapi, bukan pada materi pemberian pada Raja Arabnya. "Ini persoalan proses dan mekanisme pemberian gelar itu," ujar Dedi.
Menurut Dedi, perbincangan di Komisi X sama sekali tidak ada kaitan pada Raja Arab, tetapi pada penetapan dan disharmonisasi dalam kelembagaan UI. "Mengapa ini terjadi, itulah yang ingin kami tahu," ujarnya. Selain itu dia menyebut, pertemuan besok adalah permintaan Wali Amanat UI sendiri.
Komisi X, kata Dedi, ingin mendapat ketegasan kenapa pemberian gelar oleh rektor tidak diketahui oleh civitas akademika UI, terutama oleh senat dan wali amanat. Selain itu, juga mempertanyakan kriteria yang digunakan dalam pemberian gelar HC tersebut. Padahal, mengenai kriteria ini sudah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 43 tahun 1980. Pada pasal I ketentuan itu disebutkan penerima gelar itu haruslah orang yang dianggap telah berjasa atau berkarya bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Meski begitu, Dedi membantah komisi X meminta gelar HC yang sudah terlanjur diberikan itu dicabut. "Pencabutan adalah domain pemerintah." Selain itu, jika gelar itu dicabut akan berpengaruh terhadap hubungan RI-Arab Saudi. "Yang kami persoalan adalah mekanisme UI ketika akan memberikan gelar itu."
Penetapan gelar HC oleh Rektor UI ini, kata Dedi, sangat perlu diluruskan. Kasus ini, kata dia, akan menjadi masukan bagi Komisi X merampungkan RUU Tata Kelola Perguruan Tinggi. Apalagi RUU semakin perlu karena dicabutnya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh MK yang selama ini diberlakukan di beberapa perguruan tinggi. Bahkan, karena sudah dicabutnya UU BHP ini pula, kata Dedi, yang menyebabkan miskomunikasi antara rektor dan wali amanat. "Dia (rektor) menganggap karena UU BHP sudah tidak dipakai, maka wali amanat juga sudah tidak ada."
Rancangan UU Pengelolaan Perguruan Tunggi itu nanti selain memuat mekanisme pemberian gelar HC juga akan memuat soal pemilihan rektor.
IRA GUSLINA