TEMPO Interaktif, Jakarta - Antasari Azhar, terpidana kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, membeberkan sejumlah kekhilafan hakim yang membuat dirinya dihukum 18 tahun penjara. Dalam pembacaan memori Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini, Selasa 6 September 2011, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengaku memiliki 28 kekhilafan hakim dalam putusan di pengadilan tingkat pertama maupun banding.
Menurut Antasari, kekeliruan pertama yang dilakukan hakim adalah tidak mempertimbangkan luka tembak yang masuk dari pelipis kanan Nasrudin. "Kekeliruan lain, hakim telah membuat putusan fakta hukum yang nyata-nyata melanggar azas legalitas," kata Antasari dalam pembacaan memori PK di PN Jakarta Selatan siang tadi.
Hakim juga tidak menjelaskan pertimbangan keterangan saksi yang menyebutkan ada kesengajaan dari Antasari untuk turut serta menganjurkan pembunuhan berencana. Padahal, kata dia, kualifikasi "turut serta menganjurkan pembunuhan berencana" tidak dikenal dalam penyertaan yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan itu kemudian malah dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan bernomor 1429k/Pid/2010 tanggal 21 September 2010.
Antasari juga menuding hakim khilaf dalam menerapkan hukum pembuktian. Kemudian, hakim dalam pertimbangannya memuat pertentangan antara putusan satu dengan putusan lain, yakni antara putusan Antasari dengan Sigid Haryo Wibisono, Williardi Wizar, dan Eduardus Noe Ndopo Mbete, serta Hendrikus Kiawalen mengenai unsur menganjurkan pembunuhan. Menurut Antasari, hakim tidak mempertimbangkan soal barang bukti peluru di kepala korban seperti diterangkan ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, dr. Mun'im Idris.
Dia juga mengungkapkan hakim tidak memeriksa barang bukti baju korban Nasrudin dalam menentukan jarak tembak, serta hasil penyelidikan mobil korban. Ditambah lagi, fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidak dipertimbangkan.
Antasari juga menuding hakim lalai dalam mempertimbangkan penyitaan barang-barang yang tidak berhubungan dengan perkara a quo, seperti amplop coklat dari Sigit Haryo Wibisono berisi satu bendel hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham dari BPK, satu amplop berisi print out e-mail dari seorang wartawati untuk Antasari, surat Nota Kesepahaman antara PT Graha Artha Citra Mandiri dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia tahun 2002, serta salinan surat Keputusan Menteri Negara BUMN, dan hard disk berisi data pribadinya. Penyitaan itu, menurut Antasari, tidak ada kaitannya dengan persidangan.
Dengan dalil tersebut, Antasari berharap Majelis Hakim PK akan mengadili perkaranya dengan mengabulkan permohonan PK serta membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 september tahun lalu. Antasari optimistis dengan dalil dan temuan bukti baru yang diuangkapkan bisa membuatnya terbebas dari hukuman 18 tahun penjara yang menyatakannya bersalah sebagai aktor intelektual pembunuhan Nasrudin.
RINA WIDIASTUTI