TEMPO Interaktif, Jakarta - Kejaksaan Agung belum mengambil sikap terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan uji materi pasal tentang saksi meringankan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kejaksaan masih mempelajari putusan tersebut.
"Setelah kami pelajari, kami akan sampaikan (ke publik)," kata Wakil Jaksa Agung Darmono di kantornya hari ini, Senin, 8 Agustus 2011.
Mahkamah Konstitusi hari ini mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap empat pasal dalam KUHAP terkait dengan saksi meringankan yang diajukan oleh bekas Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
“Menyatakan pasal 1 ayat 26 dan 27, pasal 65, pasal 116 ayat 3 dan 4 dan 184 ayat 1 huruf a bahwa saksi meringankan termasuk pula orang yang memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradalan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat, dan alami sendiri,” ujar Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan amar putusannya di Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Yusril mengajukan empat saksi meringankan untuk dirinya dalam kasus biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sismimbakum) yang ditangani Kejaksaan Agung. Empat orang itu, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Wapres Jusuf Kalla, dan Kwik Kian Gie. Yusril sendiri ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Namun, Kejagung menolak permintaan Yusril untuk memanggil SBY dan Megawati karena disebut tidak memiliki relevansi. Adapun Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie datang atas inisiatifnya sendiri. Atas dasar itulah, Yusril kemudian mengajukan uji materi atas pasal tentang saksi meringankan yang diatur di KUHAP.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa saksi adalah mereka yang mendengar, melihat dan mengalami tindak pidana korupsi. Dalam putusannya, Mahkamah menilai pengertian saksi dalam pasal 1 tersebut memberikan pembatasan, bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi meringankan.
Sehingga menurut Mahkamah, “Arti penting saksi bukan terletak pada apakah melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses,” kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan pendapat.
Harjono melanjutkan, atas permohonan pemohon terkait kewenangan untuk menilai relevansi saksi, Mahkamah menilai bahwa penyidik tidaklah dibenarkan menilai keterangan saksi. “Adalah kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka dengan tidak menilai apakah saksi memiliki relevansi dengan perkara pidana yang disangkakan atau tidak,” katanya.
Namun, MK menolak permohonan Yusril agar Kejaksaan Agung memanggil dan memeriksa saksi yang diajukan. “Itu merupakan kasus konkrit yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Oleh karena itu, dalil pemohon tidak beralasan hukum,” ujar Hakim Konstitusi Harjono.
Darmono enggan mengomentari kemungkinan Kejaksaan menghadirkan Presiden Yudhoyono, Megawati maupun Jusuf Kalla karena adanya putusan tersebut. Ia tetap kukuh menyatakan bahwa Kejaksaan masih mempelajari putusan Mahkamah. "Nanti, nanti. Kami pelajari dulu," ucapnya.
Berbeda dengan Darmono, Juru Bicara Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengaku belum tahu isi putusan Mahkamah. "Kami lihat dulu ya sebelum ngomong," kata dia.
TRI SUHARMAN | RIRIN AGUSTIA