TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah didesak membatasi biaya pengeluaran kampanye partai agar politik Indonesia lebih bersih dan murah. Pembatasan sumbangan bagi partai yang kini berlaku, dinilai tak menjamin integritas pemilihan umum karena nama orang lain bisa saja dipinjam untuk menggelontorkan dana ke partai.
"Tentukan saja plafon pengeluarannya, misalnya dengan hitungan berdasarkan jumlah pemilih di wilayah tertentu," kata Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dalam diskusi di Sekolah Pascasarjana Paramadina, Kamis, 21 Juli 2011.
Menurut dia, meski cara itu tak bisa langsung menyelesaikan masalah, namun bisa membantu mengatasinya. Seperti dalam menjalankan usaha, katanya, mungkin bagi partai terasa tak nyaman di awal, namun bisa bermanfaat banyak dalam jangka panjang.
Politikus Partai Amanat Nasional Bima Arya, mengusulkan ada aturan khusus untuk memaksa partai transparan soal keuangan. Caranya, Komisi Pemilihan Umum memverifikasi soal transparansi pengelolaan dana partai. "Partai tak boleh ikut pemilihan kalau belum terverifikasi keuangannya transparan," kata Bima.
Menurut praktisi pemasaran, Silih Agung Wasesa, partai ditengarai kerap tak jujur melaporkan biaya kampanyenya. Setidaknya, belanja iklan partai dalam pemilihan umum 2009 seperti dicatat di lembaga survei AC Nielsen sangat besar, sehingga seharusnya total biaya kampanye mereka jauh lebih besar ketimbang yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Padahal selain untuk iklan, partai merogoh kocek amat banyak untuk mobilisasi massa. Termasuk biaya honor penghibur dalam kampanye, akomodasi, transportasi, plus "serangan fajar" menjelang pemilihan.
Silih menuturkan, biaya iklan Partai Demokrat mencapai Rp 214,44 miliar pada 2009. Namun total biaya kampanye yang dilaporkan ke KPU cuma Rp 243,8 miliar, hanya selisih Rp 29,36 miliar dari ongkos seluruh iklannya.
Yang lebih ajaib, sejumlah partai malah melaporkan biaya kampanye yang ternyata lebih kecil daripada belanja iklannya. Seperti Partai Golkar yang mengaku biaya kampanyenya cuma Rp 164,5 miliar, tapi ongkos iklannya Rp 277,29 miliar. PDI Perjuangan melaporkan biaya kampanye Rp 10,6 miliar, tetapi memboroskan dana iklan hingga Rp 102,89 miliar. Begitu pula PKS yang mengklaim menghabiskan Rp 36,5 miliar untuk kampanye, tapi belanja iklannya mencapai Rp 74,65 miliar.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan, terlalu banyak pula lubang dalam hukum di Indonesia. Misalnya di Jakarta, meski belum waktu kampanye, banyak bakal calon gubernur sibuk memasang baliho untuk mengucapkan apa saja. "Yang penting ada foto dia, itu biayanya besar tapi tidak dihitung kampanye," kata Kalla.
Selain itu, KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum pun dituntut bersih dan transparan. "Kalau korupsi juga, bagaimana dia mau mengawasi partai?" kata Kalla.
Politikus Partai Gerindra Fadhly Zon menambahkan, jika kualitas penyelenggara dan pengawas pemilihan umum pada pemilihan mendatang sama saja dengan 2009, maka pemilihan sulit untuk menjadi lebih bersih. "Aturan sudah banyak yang bagus, tapi tidak berjalan karena KPU tidak kredibel," kata Zon.
BUNGA MANGGIASIH