TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil berencana mengajukan judicial review terkait pengesahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru. Mereka menilai ketentuan itu melemahkan fungsi, kewenangan, dan independensi lembaga MK dalam menjaga konstitusi. "Sudah ada pembicaraan ke arah sana," ujar Alfond, anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa, 28 Juni 2011.
Alfond menjelaskan bahwa rencana gugatan sedang dibicarakan oleh sejumlah koalisi lembaga, di antaranya YLBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Pusat Kajian Anti Korupsi. Namun, ia mengaku belum bisa menjelaskan secara detail rencana itu. Sebab, organ koalisi hingga kini masih merumuskan kedudukan hukum pemohon terhadap keberadaan UU. "Belum ada kata sepakat," kata Alfond.
Menurutnya, keberadaan UU MK yang baru memiliki sejumlah kelemahan yang berpotensi memangkas kemandirian MK. Seperti pasal tentang struktur badan pengawas yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut UU yang baru, lembaga ini memiliki kewenangan menarik hakim MK jika sewaktu-waktu dianggap perlu. "Aturan itu akan mengintervensi MK," kata Alfond.
Alfond juga menyayangkan kritik dari kalangan dewan yang menyorot putusan kontra petita (putusan yang melebihi dari apa yang diajukan pemohon) seperti yang terlihat dalam sengketa masa jabatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas. Menurutnya, putusan itu bisa saja bersifat retroaktif asalkan memenuhi asas manfaat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK. "Aturan itu hanya berlaku untuk hukum acara perdata," kata Alfond.
Menurut Alfond, gesekan yang terjadi sebenarnya lebih berlatar belakang politis ketimbang yuridis. Itu karena selama ini MK memiliki kewenangan yang cukup besar untuk membatalkan sejumlah pasal yang telah lama digodok oleh mereka. "DPR secara tak langsung merasa tersinggung. Anehnya, kenapa jika ada putusan yang menguntungkan DPR langsung mereka terima, sedangkan yang merugikan ditolak?" kata Alfond.
Dalam banyak kasus, kata Alfond, rumusan UU yang ditelurkan DPR tidak semata-semata sebagai produk legislasi. Di sisi lain, UU merupakan produk ekonomi-politik yang dipesan oleh para pemilik modal. Hal mana terlihat dari ketentuan terkait perkebunan dan sumber daya air yang kerap menimbulkan banyak masalah. "Inilah dilemanya, padahal tugas MK menjaga agar suatu UU tidak bertabrakan dengan konstitusi," kata Alfond.
RIKY FERDIANTO