TEMPO Interaktif, Purbalinga - Peninggalan benda megalitikum atau zaman batu besar banyak ditemukan di lereng Gunung Slamet, terutama di Purbalingga, Jawa Tengah. Salah satunya yakni batu berbentuk mirip pocong yang banyak ditemukan di Desa Tanjungmuli, Kecamatan Karangmoncol.
“Batu ini peninggalan zaman megalitikum. Dugaan kami dulu masyarakat prasejarah menggunakannya untuk upacara adat,” ujar arkeolog pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Purbalingga, Adi Purwanto, Rabu, 22 Juni 2011.
Adi mengatakan, selain batu berbentuk pocong, peninggalan prasejarah lainnya berupa punden berundak, arca megalitik, menhir, dolmen, batu lumping, batu dakon, batu altar, batu kubur, dan batu yang berbentuk phallus. Benda-benda tersebut tercecer di beberapa tempat di lereng Gunung Slamet bagian timur laut.
Batu pocong, kata dia, berbentuk lonjong menyerupai menhir, dengan alur melingkar pada sisinya, sehingga mirip pocong. Di Desa Tanjungmuli, ada dua batu pocong yang ditemukan beberapa waktu lalu.
Adi menambahkan, di Dusun Arca ditemukan batu pocong dengan ukuran 7,20 meter. Di dusun itu pula sebelumnya ditemukan batu menhir berukuran 13 meter yang disebutnya merupakan terpanjang setelah menhir di Sulawesi.
Di sekitar batu tersebut juga ditemukan beberapa punden berundak untuk ritual adat manusia prasejarah. “Dulu diduga ada permukiman di daerah ini,” ujarnya.
Areal tersebut mempunyai luas 10 meter persegi. Ia mengatakan, batu tersebut dulunya merupakan tempat pemujaan masyarakat prasejarah. Pemujaan dilakukan untuk meminta perlindungan terhadap bencana alam. “Hingga saat ini daerah ini masih sering terkena angin ribut,” katanya.
Sebelumnya, arkeolog Prof. DR. Hary Truman Simanjuntak mengatakan, sekitar 3.500 tahun yang lalu atau sekitar 1490 Sebelum Masehi, Purbalingga sudah menjadi sentra industri zaman purba. Hal itu dikuatkan dengan begitu banyaknya penemuan gelang, beliung, dan tembikar yang terbuat dari batu.
Truman mengaku kagum dengan kemajuan teknologi itu. Memasuki zaman logam, penduduk Purbalingga masa itu juga sudah melakukan imitasi seperti membuat bajak dari batu, yang terinspirasi bajak dari logam.
Anehnya, meski banyak sekali artefak, tidak ditemukan fosil manusia purba di Purbalingga. Kesimpulan sementara yang dianut para peneliti, lapisan sedimen tanah di Purbalingga terlalu asam, sehingga mampu menghancurkan segala fosil organik baik itu manusia maupun hewan. Meski demikian, Truman tetap berkeyakinan pasti akan ditemukan fosil–fosil itu, hanya dibutuhkan keuletan lebih untuk menggalinya.
ARIS ANDRIANTO