TEMPO Interaktif, Jakarta - Lembaga pegiat hak asasi manusia Imparsial mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencabut kebijakan sekuritisasi yang masih berjalan di Papua meski derah itu tak disebut sebagai Daerah Operasi Militer. Perilaku pemerintah kepada Papua sejak era orde lama, orde baru dan masa reformasi dinilai tak berubah dengan tetap menerapkan pengamanan militer.
Hal ini menjadi salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian kebijakan keamanan militer di Papua dan implikasi terhadap HAM. "Kami minta de-sekuritisasi dan pengurangan aparat militer di Papua," kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di kantornya, Selasa 31 Mei 2011.
Penelitian yang dilakukan lembaga ini menggunakan metodologi dekripsi kualitatif. Penelitian digelar sejak September 2010 hingga 8 bulan ke depan. Imparsial telah mewawancarai sejumlah pihak, mulai dari Gubernur Papua, Panglima Kodam, Kepala Polda, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, Majelis Rakyat Papua, DPRP dan juga desk Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Poengky mengatakan pelaksanaan sekuritisasi bisa dilihat dari sejumlah indikator, yakni masih digunakannnya pendekatan yang melibatkan militer dalam penyelesaian konflik di Papua, masih berjalannya operasi militer serta masih diteruskannya pengiriman pasukan non-organik di Papua. Juga bisa dilihat dari perluasan komando teritorial dan pembangunan pos-pos TNI di sekitar pemukiman warga di wilayah tersebut.
Imparsial juga melihat masih adanya penumpukan dan penyimpangan anggaran untuk TNI yang berasal APBN, APBD dan perusahaan swasta serta adanya rencana pembangunan gelar kekuatan TNI yang baru di Papua. Misalnya rencana pembentukan tiga divisi Kostrad di Sorong. Saat ini, aparat keamanan di Papua jumlahnya cukup besar mencapai sekitar puluhan ribu orang. "Pola pendekatan ini telah melahirkan peristiwa kekerasan yang merupakan pelanggaran HAM," katanya. Sehingga, kondisi HAM di Papua belum berubah.
Karena itu, ia mendesak Presiden mengambil kebijakan melalui diskusi dengan tokoh masyarakat Papua dalam menyelesaikan masalah di daerah tersebut. Menurut dia, masalah Papua tidak bisa diselesaikan dengan operasi militer dan kekerasan. Seharusnya, pemerintah bisa berkaca dari kasus kekerasan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sedangkan Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan masalah dasar di Papua bukan sekadar gerakan separatis dan kelompok anti nasionalis. Namun, Ia mengungkapkan persoalan lain yang lebih fundamental. Misalnya ketidakadilan ekonomi di Papua. Masyarakat Papua mengharapkan kondisi wilayahnya yang aman dan damai. Araf mengatakan dalam setiap tindakan pelanggaran kekerasan dari aparat itu, hanya diarahkan pada personilisasi yaitu tindakan melanggar prosedur tetap yang ditetapkan. "Mereka yang melakukan kekerasan justru mendapat rekomendasi kenaikan jabatan," katanya.
Operasi militer yang dilakukan di Papua terdiri atas ada empat macam yakni operasi perbatasan, operasi pengamanan obyek vital, operasi intilejen dan operasi teritorial. Operasi ini, kata dia, menyebabkan militer semakin banyak berperan di Papua. Hal ini juga semakin merebaknya bisnis keamanan setelah keluar Peraturan Presiden nomor 63 tahun 2004 tentang pengamanan obyek vital yang dikeluarkan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Biro Hukum Imparsial, Barata Ibnu mengkhawatirkan jumlah aparat yang besar dan banyaknya terjadi kekerasan di Papua disebabkan persaingan bisnis pengamanan eksplorasi sumber daya mineral di Papua itu. Ia juga menuding adanya persaingan polisi dan tentara dalam pengamanan di Papua. Ia menyebutkan Freeport yang beroperasi di Papua setiap tahunnya mengeluarkan anggaran US$ 66 juta untuk pengamanan.
Namun selain merekomendasikan penarikan pasukan di Papua, Poengky juga meminta kesejahteraan prajurit TNI ditingkatkan, pendidikan pelatihan HAM bagi anggota TNI, dan reformulasi doktrin TNI.
EKO ARI WIBOWO