TEMPO Interaktif, Jambi - Sejumlah aliansi masyarakat yang tergabung dalam yayasan CAPPA, Setara, Perkumpulan Hijau, SPI, AGRA, Mapala Gitasada, dan Front Magasiswa Nasional, mendesak Pemerintah Daerah di Jambi untuk mencabut izin operasional perusahaan pertambangan batubara yangberada di kawasan hutan lindung dan pemukiman warga.
"Keberadaan tambang batubara di daerah ini tidak membawa dampak positif bagi masyarakat. Malah, sebaliknya karena merusak ruas jalan, lingkungan, dan kawasan hutan", kata Priyan, Koordinator aksi demo yang dilakukan di depan Kantor DPRD Provinsi Jambi, Senin 30 Mei 2011.
Dalam orasinya, para pendemo yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut menyebutkan pada tahun 2010 saja sedikitnya ada 334 izin eksplorasi batu bara dengan luas sekitar 727.884 hektare serta 105 izin eksploitasi di atas areal 97.388 hektare. Sebagian besar izin pertambangan berada di Kabupaten Sarolangun, Batanghari dan Bungo.
Dalam aksi yang digelar bertepatan dengan peringatan hari anti tambang se-dunia tersebut, dipaparkan sebanyak 30 izin ada di dalam kawasan hutan produksi, 31 izin di kawasan hutan produksi terbatas, dan dua izin dalam kawasan hutan lindung.
"Demi kepentingan pengusaha batubara, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus rela mengorbankan kepentingan masyarakat dengan rencana akan menjadikan Sungai Batanghari sebagai jalur transportasi angkutan batu bara. Padahal, 500 ribu warga Provinsi Jambi menggantungkan hidup terhadap air sungai Batanghari", kata Priyan.
Humaidi, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Jambi yang menemui para pendemo, mengatakan prihatin atas kondisi lingkungan di Jambi Hanya saja, kata dia, Dewan tidak bisa berbuat banyak, apalagi mencabut izin yang telah diberikan kepada perusahaan. “Karena yang merekomendasi izin adalah pemerintah kabupaten,” katanya.
SYAIPUL BAKHORI