TEMPO Interaktif, Jakarta - Mei 2011 ini, tiga tahun sudah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, berlaku. Namun UU tersebut ternyata masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. "Pada prakteknya, baru sekitar delapan provinsi yang secara definitif memiliki Komisi Informasi Daerah," ujar Koordinator Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch, Agus Sunaryanto dalam keterangan pers di kawasan Cikini, Jakarta hari ini, Ahad 8 Mei 2011.
Delapan provinsi itu antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Padahal amanat undang-undang memberi batas waktu dua tahun untuk pendirian Komisi Informasi Daerah. Amanat tersebut sesuai dengan peralihan pasal 60 bahwa Komisi Informasi Provinsi harus dibentuk paling lambat dua tahun sejak diundangkan. Namun, kata Agus, hingga kini masih 76 persen provinsi yang belum memiliki Komisi Informasi Daerah.
Akibat belum adanya Komisi Informasi Daerah, maka sengketa informasi di daerah langsung diajukan ke Komisi Informasi Pusat. Hal ini terlihat dari masuknya 224 permohonan sengketa di Komisi Informasi Pusat hingga Maret 2011 lalu.
Keberadaan Komisi Informasi Daerah, kata Agus, harus didorong oleh masyarakat sipil daerah. Dorongan tersebut dimulai dari rekrutmen hingga berjalannya Komisi. Pasalnya, menurut Agus, seleksi anggota Komisi Informasi mudah sekali disusupi wakil dari Pemerintah. Meski tidak ada aturan resmi komposisi anggota Komisi, tapi kalau disusupi orang yang tak memiliki kredibilitas dan tidak independen, maka sengketa informasi tak mustahil menjadi komoditas. "Ini bahaya ke depan," ujar Agus. Hal itu juga akan berdampak pada terganggunya keterbukaan informasi di daerah. Karena itu, menurut Agus, pihaknya akan mendiskusikan masalah ini dengan pihak Pemerintah. Antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara serta Komisi Informasi Pusat.
DIANING SARI