TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebanyak 67 persen masyarakat Indonesia meminta pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menekan penggunaan tembakau. “Rokok dan asap rokok orang lain dianggap merupakan bahaya kesehatan serius,” kata Tulus Abadi, Koordinator Advokasi Pengendalian Tembakau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, di Hotel Atlet Century Park Jakarta, Selasa 26 April.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia merilis survei dukungan publik terhadap pengendalian tembakau itu. Survei dilakukan pada periode antara 20 Oktober sampai 10 November 2010. Sebanyak 1.200 orang dewasa perkotaan dipilih secara acak dari delapan kota besar, yakni di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Banjarmasin. Margin kesalahan sampel survei ini sekitar 2,8 persen.
Menurut Tulus, dari hasil survei itu juga menunjukkan bahwa masyarakat mendukung kebijakan spesifik untuk menangani penggunaan tembakau. Di antaranya melarang iklan rokok dan produk tembakau sebesar 71 persen. “Bahkan 58 persen perokok mendukung larangan iklan rokok,” katanya.
Dukungan masyarakat juga terlihat dari 95 persen mendukung kebijakan pemerintah untuk mewajibkan pesan peringatan yang lebih jelas terlihat pada produk tembakau (95%) dan melarang merokok di semua tempat umum dan di dalam gedung perkantoran (88%). “Ini artinya, sembilan dari sepuluh masyarakat Indonesia mendukung kebijakan ini,” katanya. Ia juga menyatakan hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 73 persen perokok harian mendukung kebijakan bebas asap rokok.
Menurut Tulus, dukungan kebijakan bebas asap rokok sangat kuat lantaran masyarakat sudah menyadari asap rokok orang lain merupakan bahaya kesehatan yang serius. “56 persen masyarakat mengatakan mereka sangat terganggu karena menghirup asap rokok orang lain,” katanya. Bahkan, sebanyak 81 persen responden menganggap hak konsumen dan karyawan menghirup udara bersih di restoran dan tempat kerja lebih tinggi di atas hak untuk merokok di tempat yang sama.
Selain dukungan kebijakan bebas asap rokok, sebanyak 94 persen masyarakat Indonesia mendukung kebijakan melarang penjualan kepada anak-anak usia di bawah 18 tahun (94%) dan menaikkan pajak produk tembakau sebesar 87 persen. Kenaikan cukai rokok ini, menurut Tulus, responden mendukung agar sebagian pendapatannya dialokasikan untuk mencegah penggunaan tembakau di kalangan anak-anak dan bantuan bagi perokok yang ingin berhenti merokok.
Sayangnya, dukungan masyarakat ini tidak diikuti dukungan di parlemen. Menurut Wakil Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Ahmad Nizar, hingga kini pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau (PDPTK) untuk kesehatan masih jalan di tempat. Ia membacakan keputusan Panitia Kerja RUU PDPTK Badan Legislasi DPR pada 6 April lalu. Salah satunya, “RUU PDPTK sebaiknya diendapkan dan memberi kesempatan kepada staf ahli Baleg untuk merevisi naskah kembali,” katanya.
Rapat panitia kerja, menurut Nizar, juga meminta agar RUU dikaji lebih mendalam dengan mengubah substansi judul dan isi. “Bila 2011 belum berhasil, ajukan lagi di 2012,” ujarnya membacakan kesepakatan panitia kerja yang tidak diikutinya.
Pengacara senior, Todung Mulya Lubis, mengatakan hak untuk mendapatkan kesehatan termasuk dalam hak asasi manusia. Ia mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan rakyat. “Kalau pemerintah berpihak pada kesehatan, mengapa tidak menaikkan cukai rokok, apa ada kolusi,” ujarnya.
Jika pemerintah menyatakan keberpihakannya, menurut Todung, seharusnya mulai menerapkan kebijakan melarang iklan di media. “Walaupun media pasti menentangnya karena pendapatan mereka banyak dari rokok,” ujarnya. Selain itu, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan tidak ada investasi asing dalam industri rokok.
ISTIQOMATUL HAYATI