Rancangan peraturan ini terdapat dalam "Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025" yang rencananya bakal dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
"Pemekaran tidak salah. Tapi, kalau emosional dan politis, tidak berorientasi pemanfaatan, hasilnya justru tidak efektif," katanya di Jakarta, Rabu (20/4).
Peraturan ini dirancang menyusul hasil evaluasi terhadap kinerja daerah baru hasil pemekaran yang digelar pada tahun lalu. Kinerja sekitar 78 persen daerah baru jauh dari memuaskan. Hanya 22 persen dengan penilaian baik.
Karena alasan ini pula pemerintah memutuskan melakukan moratorium pemekaran daerah, meski sudah ada 181 usulan pemekaran baru. Moratorium dilakukan sampai revisi UU No. 32/2004 rampung.
Desain besar ini juga merancang mekanisme penggabungan daerah-daerah pemekaran yang kinerjanya buruk, meski sudah dibina selama 3 tahun. Opsi lain adalah pembangunan berpenyesuaian.
"Daerah pemekaran yang gagal dimungkinkan melakukan penyesuaian," kata Gamawan. Artinya, daerah baru itu digabungkan dengan provinsi yang terdekat, dan tidak harus dengan provinsi induk sebelumnya.
Penyesuaian juga dimungkinkan untuk daerah-daerah yang lokasinya jauh dari daerah induk. Daerah ini bisa digabungkan dengan provinsi terdekat agar sistem pemerintahannya lebih efektif.
Sementara itu, menurut Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, kasus penggabungan daerah tidak hanya diterapkan untuk kabupaten atau kota yang digabungkan dengan provinsi terdekatnya. "Kecamatan pun bisa. Banyak kecamatan yang lokasinya jauh sekali dan terpisah dari kabupaten induk," ujarnya. Dengan undang-undang baru, daerah-daerah ini bisa digabung dengan wilayah induk yang lebih dekat.
Kementerian akan menyempurnakan desain besar ini sebelum diusulkan kepada DPR. Djohermansyah mengatakan, meski akan mendapat tantangan, aturan baru tentang pemekaran ini lebih matang dibanding aturan yang sudah ada.
KARTIKA CANDRA