“Bagaimana hukumnya kalau kepala negara melaksanakan ibadah solat, puasa, zakat, dan haji, tapi dia tidak mau mengatur negara dengan hukum Islam? Apakah dia bisa dikatakan kafir?” tanya Ba’asyir.
Mukhtar menjawab, persoalan itu memang menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Tapi dari sejumlah keterangan ulama yang pernah dibacanya, memang sebenarnya wajib bagi seorang muslim untuk menegakkan hukum Islam. Begitu pun dengan seorang Kepala Negara.
“Tapi kalau dia nggak mampu dan upaya menegakkan hukum Islam itu justru mendatangkan mudarat, dan bahkan menyebabkan orang lain celaka, hukumnya justru bisajadi haram. Jadi yang penting di hatinya (kepala negara) tidak ada pengingkaran terhadap hukum Allah,” jelasnya.
Menurut Mukhtar, seorang muslim wajib kiranya menaati Allah, rasul Allah, dan pemerintah negara yang ditinggalinya. “Jadi kalau begitu, menurut Ustad, meski ulil amri (pemerintah) menentang Islam, dia harus tetap ditaati? Apa dalilnya?” cecar Ba’asyir.
“Masalah hati itu serahkan pada Allah. Sudah saya jelaskan, sebagai muslim, persoalan batin, dan persoalan kepura-puraan itu bukan ‘ruang’ kita sebagai manusia. Tidak dibenarkan kalau kita menentukan orang ini kafir atau musyrik kecuali ada keterangan dari Allah bahwa diaseperti itu,” ujar Mukhtar.
Mukhtar sendiri berpendapat, dalam kasus seorang kepala negara muslim tak menerapkan hukum Islamdi negara yang dipimpinnya, harus ditelusuri apa penyebab dia memilih untuk itu. “Apakah memang ingkar, belum ada kekuatan untuk menerapkan itu, atau alpa? Tapi saya katakan, alasan apapun, kepala negara tetap sebagai seorang muslim,” kata dia.
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan, Ba’asyir mengatakan orang Islam batal syahadat dan haram hukumnya tinggal di negara yang tidak menganut sistem pemerintahan Islam. Karena itu, seharusnya umat Islam bangkit dan membela Islam, entah nantinya kalah atau menang.
Isma Savitri