TEMPO Interaktif, Semarang -Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Jawa Tengah Mayun Mataram mengeluhkan kurangnya sumber daya manusia dan prasana. Mayun mencontohkan, para sipir di lembaga pemasyarakatan (LP) hanya bisa menggunakan cara konvensional saat memeriksa pengunjung atau pembesuk. ”Tidak ada LP di Jawa Tengah yang mempunyai anjing pelacak, alat metal detektor serta alat pelacak lain untuk mengendus barang-barang terlarang,” kata Mayun, Selasa (22/3).
Alat yang terpasang, menurut dia, baru pelacak sinyal telepon. Alat itu pun baru terpasang di LP di kawasan Nusakambangan, Cilacap. ”Yang lainnya belum sama sekali. Sehingga para napinya seperti bebas menggunakan telepon seluler,” kata Mayun.
Dia berharap agar di LP maupun rumah tahanan juga diberi fasilitas serta sarana dan prasarana untuk menunjang kerja para pegawai maupun para sipir. Sebab, kata Mayun, yang dihadapi para sipir adalah orang-orang tak biasa, atau setidaknya sudah pernah melakukan kejahatan. "Seharusnya sipir diberi fasilitas yang lebih dari yang lain karena menghadapi orang-orang nakal," katanya.
Selain tak memiliki peralatan memadai, Mayun juga mengeluhkan kurangnya sumber daya manusia yang ada di LP maupun rumah tahanan. Saat ini jumlah sipir dan penjaga LP dan rumah tahanan di Jawa Tengah 3.000 orang yang tersebar di 44 LP, 8 rumah barang sitaan (rubasan) serta 6 balai pemasyarakatan (bapas).
Mereka, Mayun mengungkapkan, harus menjaga sebanyak 10 ribu narapidana dan tahanan. Menurut Mayun, idealnya jumlah sipir di Jawa Tengah adalah 5 ribu orang. Di LP Nusakambangan saat ini ada 400 sipir yang harus menjaga di tujuh LP. "Di Nusakambangan saja idealnya harus ada 700 pegawai sipir," kata Mayun.
ROFIUDDIN