TEMPO Interaktif, Jakarta - Polisi tak ambil pusing mengenai sikap Abu Bakar Ba'asyir yang menolak disidang karena saksi diperiksa menggunakan telekonferensi. Sebab, sikap itu merupakan hak terdakwa kasus terorisme tersebut. Namun, penggunaan alat modern tersebut sudah sesuai dengan undang-undang pemberantasan terorisme.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar menegaskan penggunaan perangkat elektronik dalam kasus terorisme dimungkinkan dalam undang-undang. "Terorisme itu extraordinary crime. Undang-undang pemberantasan terorisme memberi kesempatan pada penyidik dan pengadilan untuk memeriksa saksi melalui perangkat elektronik," kata Boy di Markas Besar Kepolisian RI, Selasa (15/3).
Menurut dia, penggunaan perangkat elektronik, baik berupa rekaman video maupun telekonferensi bukan baru pertama kali dipakai. Sebelumnya, polisi juga pernah memeriksa saksi dari Malaysia pada 2004 untuk kasus Bom Bali I. Penggunaan perangkat elektronik ini, kata dia, untuk menjembatani masalah psikologis yang mungkin timbul pada saksi terorisme.
"Karena dalam kasus terorisme banyak saksi yang tidak mau menjadi saksi, makanya diperbolehkan menggunakan perangkat elektronik," ujarnya, "Ini bukan rekayasa. Saksi ini saksi yang sangat penting untuk pembuktian dakwaan."
Terkait ancaman Baasyir yang tidak akan ikut sidang lagi dan melaporkan penggunaan telekonferensi ke Komisi Yudisial, Boy menilai itu hak Ba'asyir. Namun, Boy mengingatkan sikap Baasyir yang berencana menolak hadir bisa jadi pertimbangan hakim untuk memperberat dalam memutuskan vonis. "Kalau dia menolak hadir di persidangan, itu hak dia. Tapi, tentu hal itu akan jadi pertimbangan hakim untuk memberi vonis," kata Boy.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin, Ba'asyir meninggalkan ruang sidang. Hal itu dilakukan Ba'asyir sebagai protes kepada hakim yang menghadirkan saksi melalui telekonferensi.
AMIRULLAH