TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Nasional menolak tempat pelacuran atau prositusi ditutup atau dibubarkan. Pembubaran lokalisasi dinilai tidak akan menyelesaikan masalah HIV&AIDS dan justru mempersulit pengendalian penyebaran penyakit.
“Jika penutupan itu menyelesaikan masalah, kita setuju. Tapi kenyataannya penutupan lokalisasi yang ada malah meningkatkan kasus HIV/AIDS," ujar Sekretaris KPA Nasional Nafsiah Mboi usai bertemu Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X di Kepatihan, Yogyakarta, Senin 14 Maret.
Menurut Nafsiah, dengan penutupan itu HIV/AIDS justru masuk dalam rumah rakyat dan menyebar ke masyarakat. Ketika telah masuk rumah rakyat dan menyebar, lanjut Nafsiah, makin sulit pihaknya memberikan pembinaan, pendidikan, pengobatan dan layanan pencegahan seperti kondom dan lainnya.
Dicontohkan, kasus HIV/AIDS di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur sangat cepat meningkat salah satunya karena pembubaran lokalisasi yang membuat pekerja prostitusi makin tak terdeteksi wilayah operasinya.
“Dari penelitian dan pengamatan kami, di daerah atau lokalisasi tempat pelacuran ditutup, jumlah orang yang terkena penyakit kelamin maupun HIV/AIDS turut meningkat tajam,” kata dia.
Ditegaskan Nafsiah, pekerja seks maupun semua yang mendapat nafkah dari lokalisasi adalah warga yang punya hak asasi manusia, berhak hidup sehat, mendapatkan pendidikan, dan mendapat layanan kesehatan.
“Tidak ada dalam KUHP yang menyatakan pelacuran itu kriminal. Kecuali kalau itu dilaporkan di bawah umur dan ada pelaporan,” katanya.
Di Indonesia saat ini penularan HIV/AIDS terbanyak diketahui melalui hubungan
seks. Tahun 2006 penularan tertinggi penyakit ini karena narkoba suntik. Dari
lokalisasi, ibu rumah tangga yang paling banyak terinfeksi.
Jumlah kasus HIV/AIDS menginfeksi ibu rumah tangga masing-masing provinsi berbeda. Namun jika dibanding antara laki-laki dan perempuan, jumlah terinfeksi masih lebih besar laki-laki. Persentase untuk perempuan sekitar 24-26 persen. Jumlah laki-laki lebih banyak karena penggunaan jarum suntik.
Sedang perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS yang betul-betul sebagai pekerja seks hanya sekitar 17 persen, sedangkan ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV/AIDS dan tidak berperilaku berisiko HIV/AIDS sekitar 70 persen. “Ini yang kami khawatirkan” kata dia.
Mengambil kasus di Yogyakarta, dimana lokasisasi di kompleks Sanggrahan, dekat terminal Umbulharjo Yogyakarta yang digusur untuk pembangunan terminal. Menurut Ketua Pengurus Harian Daerah PKBI DIY Budi Wahyuni dengan pembubaran itu membuat sekitar 100-an pekerja seks yang beroperasi di wilayah itu tersebar di jalan-jalan dan mempersulit pengontrolan.
“Padalah sebelumnya PKBI di sudah memiliki klinik dan dokter untuk pelayanan kesehatan pada PSK. Jadi pembubaran lokalisasi memang tak akan menyelesaikan penyebaran HIV/AIDS, justru makin meningkatkannya,” kata Budi kepada Tempo.
Di Yogyakarta wilayah yang masih digunakan beroperasi para pekerja seks masih terpusat di kawasan Pasar Kembang. PKBI sendiri sejak tiga bulan ini menggelar layanan untuk 200-300 pekerja seks dilokasi itu dengan mobile clinic memanfaatkan balai pertemuan rukun warga (RW) setempat seminggu dua kali.
PRIBADI WICAKSONO.