TEMPO Interaktif, Makassar: Sekitar seratus pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Untuk Kemerdekaan Nasional (GRAKNAS) menggelar aksi di bawah jembatan layang Urip-Pettarani. Aksi ini untuk memperingati 45 tahun lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)."Supersemar adalah tonggak kembalinya kolonialisme di Indonesia," kata M. Aan, pengunjuk rasa dari Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Makassar, siang ini (11/3/2011).
Peringatan ini digelar agar peristiwa Supersemar tidak terlulang lagi pada masa ini. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memang tidak mempraktekan kolonialisme seperti masa orede baru. Namun rezim yang berkuasa saat ini menerapkan bentuk neoliberalisme. "Banyak penipuan yang dilakukan pemerintah sejak SBY berkuasa," kata Aan.
Menurut Aan, pemerintah sekarang lebih sering membohongi rakyat. Fakta itu diperlihatkan dengan penerimaan minyak mentah Indonesia yang di pengaruhi oleh Arabian Light Crude (ALC) di pasar Dubai. Padahal Indonesia menerima pasokan minyak dari Oman dan Qatar sehingga kenaikan harga minyak di New York tidak mencerminkan kenaikan harga minyak Indonesia secara langsung. "PEmerintah selalu mendahulukan kepentingan pribadinya di banding kepentingan rakyat," katanya.
Pengunjuk rasa juga menilai, keuntungan Indonesia dari penerimaaan migas mencapai Rp 28 triliun. Namun fakta tentang keuntungan yang diperoleh tidak pernah sampai ke masyarakat. Dalam aksi itu pengunjuk rasa juga menuntut pengusutan sejumlah kasus pelanggaran HAM yg terjadi di tanah air. Mereka juga menolakan kenaikan harga BBM, segala bentuk penggusuran dan sistem kerja Outsourcing.
Selain KPK PRD, aksi ini juga melibatkan massa dari PMII Metro Makassar, PMKRI, LMND Sul Sel, SRMI Mks, HIPMAT Mks dan FORKOM.
ANDI NINNONG BUCHAR