"Menetapkan, memberikan izin dan seperlunya memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi dilakukan tanpa tatap muka dengan terdakwa Abu Bakar Ba'asyir, dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui teleconference," kata Ketua Majelis Hakim Herri Swantoro dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 10 Maret 2011.
Sebelumnya, jaksa mengajukan permohonan pemeriksaan enam belas saksi Ba'asyir dilakukan via telekonferensi, pada 14 Maret 2011 mendatang di Kelapa Dua, Depok. Alasan jaksa, pemeriksaan tanpa tatap muka dengan terdakwa bisa menghindarkan saksi yang saat ini berstatus tersangka, dari kemungkinan adanya ancaman dan tekanan.
Ke-16 saksi tersebut adalah Imron Baihaqi, Hariadi Usman, Abdul Haris, Suranto, Luthfi alias Ubaid, Muhammad Ilham, Komarudin, Hamid Agung Wibowo, Munasikin, Muji Haq, Andriansyah, Hendro Sultani, Joko Purwanto, Muksin, Solahudin, dan Joko Daryono.
Hakim menetapkan ke-16 saksi akan diperiksa atau ditanya hanya oleh jaksa. Adapun berdasar asas kesetaraan, hakim mengizinkan salah seorang penasehat hukum ikut mengawasi jalannya persidangan, namun dalam ruangan terpisah. Jika menemukan ada kejanggalan, penasehat hukum bisa melaporkannya pada majelis hakim.
Sedangkan dari pihak hakim, Herri memerintahkan hakim Maman dan salah seorang panitera pengganti untuk ikut mengawasi dan mencatat jalannya pemeriksaan secara telekonferensi. "Untuk teknis pemeriksaan, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengaturnya," kata dia.
Sebelumnya, penasehat hukum bersikukuh pemeriksaan saksi via telekonferensi tak layak diterapkan. Salah satu penasehat hukum, Munarman, kemudian mencontohkan adanya pernyataan dari salah seorang calon saksi Ba'asyir, yang mengaku ditekan untuk memberi keterangan yang memberatkan Ba'asyir.
Munarman khawatir, jika pemeriksaan telekonferensi dilakukan, kejadian serupa bisa terulang. "Ini bahan untuk dipertimbangkan, supaya kita tidak terjebak dalam rekayasa pihak lain. Karena ada saksi yang dipaksa mengatakan Ba'asyir menerima 20 persen dari perampokan CIMB Niaga di Medan. Kami minta saksi-saksi itu tidak dihadirkan."
Hakim dalam ketetapannya menimbang beberapa perundangan. Pertama, pasal 33 juncto pasal 34 ayat 1 huruf c Undang-Undang No.15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU tentang Tindak Pidana Terorisme. Kedua, pasal 2 jo pasal 3 huruf c PP No.24 tahun 2003 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi penyidik, penuntut umum, dan hakim, dalam perkara tindak pidana terorisme. Ketiga, pasal 9 ayat 1 dan 3 UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut hakim, perlindungan saksi sebagaimana ada dalam pasal 33 UU No.15 UU Tindak Pidana Terorisme, dilakukan oleh penegak hukum. UU tersebut menyatakan adanya perlindungan untuk saksi atas ancaman fisik dan mental, dijaminnya kerahasiaan identitas saksi dan pemeriksaan dalam sidang tanpa bertatap muka dengan terdakwa.
"Menimbang PP No.24 tahun 2003 pasal 3 huruf c menegaskan pemeriksaan saksi tanpa bertatap muka dengan tersangka di sidang pengadilan adalah tidak melanggar undang-undang, bahkan diwajibkan undang-undang utamanya kepada saksi atau korban yang posisinya rawan ancaman fisik maupun psikis," kata salah satu hakim anggota, Sudarwin.
ISMA SAVITRI